Senin 18 Jun 2018 21:29 WIB

'Kepentingan Pemerintah Diakomodasi Lewat Plt Gubernur'

Mendagri tetap ngotot dengan argumennya.

Rep: Amri Amrullah/Hartifiany Praisra/ Red: Muhammad Hafil
Mendagri Tjahjo Kumolo (kiri) melantik Komjen Pol Mochamad Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Senin (18/6).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Mendagri Tjahjo Kumolo (kiri) melantik Komjen Pol Mochamad Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Senin (18/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah pemerintah kembali menuai polemik. Yaitu,  dengan mengangkat perwira aktif polisi sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur di Jawa Barat.

Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai pengangkatan perwira polisi sebagai pejabat gubernur Jabar ini telah menjadi kontroversi baru. Sebab menurutnya, pemerintah dalam hal ini Mendagri Tjahjo Kumolo seperti tidak peduli pada protes masyarakat menolak dilibatkannya anggota kepolisian dalam urusan pemerintahan.

"Mendagri tetap ngotot dengan argumen seadanya menunjuk yang bersangkutan sebagai penjabat Gubernur Jabar. Mendagri hanya melihat dasar hukum peraturan yang mereka buat sendiri. Karena aturan itu dibuat sendiri, tentu saja punya kecenderungan akan mengakomodir kepentingan pemerintah sendiri," jelas Ray kepada wartawan, Senin (18/6).

Permendagri No 1/2018, menurut Ray, dibuat sedemikian rupa untuk memang ramah pada keinginan politik pemerintah. Salah satunya membuat ketentuan yang tidak tegas soal pelibatan anggota polisi dalam urusan pemerintahan.

Ia menilai Mendagri juga mengabaikan UU No 2/2002 tentang kepolisian soal larangan polisi merangkap jabatan di luar tugas kepolisian. Jikapun harus bertugas di institusi lain, harus tetap berkaitan dengan tugas kepolisian, seperti di BNN dan atas dasar penugasan dari Kapolri.

"Pasal 28 ayat 3 UU No2/2002 juga menyatakan dengan tegas bahwa polisi hanya bisa bertugas di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun," paparnya.

Sekalipun pejabat yang ditunjuk sekarang menjabat sebagai sestama Lemhanas, tapi status beliau sebagai polisi belumlah pensiun. Sudah semestinya, lanjut dia, kemendagri melihat aturan yang membatasi anggota polisi hanya boleh ditugaskan dengan tugas-tugas kepolisian.

Artinya jikapun tetap dipaksanakan yang bersangkutan sebagai penjabat Gubenur, maka ketentuan pensiun atau mundur dari kepolisian harus dilaksanakan. Itupun terhitung dari tanggal yang bersangkutan ditunjuk sebagai penjabata Gubernur, sejak itu pula beliau harus mengirimkan surat pengunduran diri dari kepolisian.

"Penunjukan ini juga menentang semangat menjadikan polisi sebagai institusi independen dan professional. Satu tugas yang sekarang semakin mendesak mengingat bahwa institusi ini makin jauh dari polisi yang professional," kata Ray.

Menurutnya, melibatkan kepolisian dalam tugas-tugas di luar kepolisian berpotensi untuk menjadikan institusi ini kehilangan orientasi professionalnya. Sejarah telah mengalaminya saat TNI ditarik oleh orde baru ke ranah politik. Akibatnya, 32 tahun kekuasaan orde baru, tugas dan kewenangan TNI kabur antara pertahanan dengan urusan politik.

Senada dengan Ray, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR, Didik Mukrianto melihat pengangkatan M Iriawan sebagai plt gubernur Jabar bukan hanya menimbulkan kontroversi tapi juga inkonstitusional.

"Tentu langkah ini bukan hanya diindikasikan adanya perlawanan terhadap kehendak rakyat, lebih lanjut bisa diindikasikan adanya kebohongan publik yang dilakukan pemerintah. Dan pemerintah bisa diindikasikan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang," ungkap Didik.

Didik menjelaskan setidak-tidaknya ada indikasi pelanggaran terhadap tiga Undang-Undang yaitu UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Pelanggaran terhadap pelaksanaan tiga undang-undang sekaligus ini, menurut dia, suatu skandal besar dalam konteks tata kelola pemerintahan, berbangsa dan bernegara. Apalagi saat ini bangsa Indonesia sedang menjalankan proses demokrasi Pilkada 2018 dan menjelang Pemilu 2019.

Tentu langkah Mendagri ini, menurut dia, akan membawa dampak serius terhadap pelaksanaan demokrasi. Pelanggaran UU jelas akan menciderai demokrasi dan kehendak rakyat.

"Kita harus mengingatkan, bahkan mengkoreksi pemerintah agar bangsa ini tidak terjerumus kepada persoalan besar yang sangat serius. Kami berpandangan saat yang tepat DPR untuk menggunakan Hak Angket, mengingatkan dan mengkoreksi pemerintah agar tidak terkoreksi oleh rakyat dan sejarah," ungkap Didik.

Komisaris Jenderal Polisi Muhamad Iriawan resmi menjadi penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat menggantikan Gubernur Jawa Barat periode 2013-2018, Ahmad Heryawan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memimpin pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan yang dilaksanakan di Gedung Merdeka, Bandung pada Senin (18/6).

Tjahjo menuturkan, terpilihnya Iwan sebagai Pj Gubernur Jabar sudah sesuai undang-undang. Meski begitu, pelaksanaannya baru hari ini karena bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.

"Kemarin kami tunjuk Sekda karena 14 selesai 15 Idul Fitri, jadi nggak mungkin ada pelantikan. Supaya jangan ada kekosongan, jadi Sekda saya SK-kan (Surat Keputusan) dengan SK mendagri sampe turuya SK Kepres," jelas Mendagri usai pelantikan.

Dia menilai, tidak ada keistimewaan dari jabatan tersebut karena tugasnya masih sama seperti gubernur. Iriawan dipilih karena jabatannya sebagai Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional setara dengan Gubernur.

"Karena dia (Iriawan) adalah anak buahnya Gubernur Jawa Barat, dia Sestama di Lemhanas setingkat Eselon I," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement