REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan, urbanisasi pascalebaran adalah fenomena yang harus disikapi secara arif. Hal tersebut agar warga pendatang tidak menjadi beban pemerintah kota, namun tidak juga dihadapi dengan penolakan.
Menurut Moeldoko, urbanisasi bersifat alamiah, di mana masyarakat memandang bahwa perekonomian di kota lebih baik ketimbang di daerah atau di desa. Selain itu, tidak ada aturan yang melarang masyarakat berurbanisasi. Tinggal bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat yang akan menjadi pendatang, agar tidak menjadi "beban" pemerintah.
"Jadi memaknainya yang arif, jangan seolah-olah urbanisasi membawa malapetaka, tapi juga bisa mengisi celah-celah yang kosong, yang memang sebagian dari kita masih membutuhkan teman-teman dari daerah," kata mantan Panglima TNI itu.
Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah mitigasi berdasar pengalaman yang ada guna menyikapi fenomena urbanisasi "Jangan hanya pendekatannya pendekatan menolak," imbuh Moeldoko, yang juga doktor ilmu administrasi negara dari Universitas Indonesia itu.
Paradigma perpindahnya masyarakat desa atau daerah ke kota sejatinya sudah tidak lagi didasarkan hanya untuk "mengadu nasib". Setidaknya, pergerakan ke wilayah kota harus memiliki kepastian akan pekerjaan dan tempat tinggal. "Kalau ada kepastian, akan ada sebuah pendapatan baru bagi keluarga mereka di desa, itu cukup positif. Tapi sangat tidak positif apabila pergerakan ke kota tanpa tujuan. Misalnya tidak ada tujuan yang jelas bagaimana kehidupan mereka di kota," jelasnya.
Dinsos: Warga Pendatang Baru Jangan Jadi PMKS di Jakarta
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto mengatakan bahwa fenomena urbanisasi masih akan terus terjadi sepanjang belum tercapai pemerataan pembangunan. Selain itu, faktor ketimpangan ekonomi antara desa dan kota menjadi salah satu yang mendorong masih tingginya angka urbanisasi.
"Mereka melakukan urbanisasi karena ada selisih upah yang dapat menguntungkan bagi kehidupan keluarga mereka di desa. Misalnya di desa kerja 8 jam hanya mendapat upah Rp20 ribu, di kota bisa mendapat Rp100 ribu. Jadi ada selisih uang yang bisa dikirim ke desa," jelasnya.
Dijelaskan, saat ini mulai terjadi perubahan pola dan tujuan migrasi. Tidak lagi ke kota-kota besar, melainkan ke kota-kota menengah atau sekuder karena industri-industri mulai bergeser ke kota-kota menengah tersebut.
Lebih lanjut Bagong mengatakan bahwa solusi yang paling efektif untuk menekan angka urbanisasi adalah melakukan pemerataan pembangunan di wilayah desa. Menurutnya, program Dana Desa yang dilakukan oleh pemerintah saat bisa menjadi kunci untuk peningkatan pembangunan dan ekonomi di desa.
"Kuncinya adalah pemerataan pembangunan wilayah desa. Diharapkan juga dana desa dapat bermafaat untuk membuka banyak lapangan kerja baru, serta melakukan pemberdayaan masyarakat desa," kata Bagong.
Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo mengatakan bahwa pembangunan yang telah dilakukan kawasan perdesaan mampu mengurangi jumlah urbanisasi. Melalui pembangunan tersebut, akan banyak tercipta lapangan pekerjaan di desa sehingga dapat memacu pemerataan ekonomi.
"Dana desa dan pembangunan di desa mampu mengurangi angka urbanisasi. Seharusnya urbanisasi dapat terus ditekan karena banyak membentuk lapangan pekerjaan baru," jelasnya.
Selain menekan pergerakan urbanisasi, terciptanya lapangan kerja baru sebagai dampak masifnya pembangunan di desa, diharapkan dapat menarik kembali kaum urban agar mau berkarya di daerah asal mereka masing-masing.
Jika hal itu terjadi, juga akan berdampak pada pengurangan angka pengangguran di kota-kota besar. "Semoga dengan desa terus memberikan lapangan pekerjaan, bukan hanya mengurangi pengangguran di desa, tapi orang desa di kota bisa kembali ke desa, kurangi pengangguran di kota," kata Eko.