Jumat 22 Jun 2018 15:50 WIB

Fredrich: Jaksa KPK Coba Ubah Konstitusi Indonesia

Fredrich Yunadi sebelumnya dituntut 12 tahun penjara terkait kasus Setya Novanto.

Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik Fredrich Yunadi (tengah) saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (22/6) .
Foto: Antara/Reno Esnir
Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik Fredrich Yunadi (tengah) saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (22/6) .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus dugaan tindak korupsi karena menghalangi penyidikan perkara KTP elektronik (KTP-el), Fredrich Yunadi menilai jaksa penuntut umum (JPU) KPK mencoba mengubah konstitusi Indonesia. Penilaian itu disampaikan Fredrich pada nota pembelaan atau pleidoinya.

"Jaksa Penuntut Umum mencoba mengubah konstitusi Indonesia dengan menggunakan sistem Anglo Saxon, padahal peraturan yang berlaku di Indonesia menggunakan sistem Eropa Kontinental," kata Fredrich saat membacakan pleidoi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (22/6).

Dalam perkara ini, Fredrich dituntut hukuman maksimal yaitu 12 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider 6 bulan. "Peraturan di Republik Indonesia dikenal adagium 'Tidak ada hukum selain undang-undang', dengan kata lain hukum diidentifikasikan dengan undang-undang (UU), hukum adalah UU, keberadaan yurisprudensi tidak mengikat di Indonesia," tambah Fredrich.

Hal itu, menurut Fredrich berbeda dengan sistem Anglo Saxon yang diterapkan di negara-negara Commonwealth dan Amerika Serikat yang menjadikan yurisprudensi (hukuman pada waktu sebelumnya) sebagai dasar hukum.

"Asal legalitas di Indonesia menegaskan suatu pidana tidak dapat dilarang kecuali UU mengatakannya, Indonesia bukan menganut Anglo Saxon, tapi selama sidang berlangsung penuntut umum sangat antusias mempengaruhi yang mulia untuk mengambil contoh putusan yang subjek dan objeknya berbeda dan jelas penuntut umum memaksakan pertimbangan hukum yang ada di kasus lain," jelas Fredrich.

Fredrich yang merupakan mantan pengacara Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP-el itu bahkan menilai, JPU KPK hanya melakukan tugas perbantuan di KPK. Namun, masih terikat dengan doktrin Kejaksaan Agung.

"JPU adalah kesatuan Kejaksaan Agung yang tidak terpisahkan yang hanya sementara waktu diperbantukan di KPK, bukan malah mengganti doktrin. Perlu diingatkan, penuntut umum setiap saat bisa ditarik ke Kejaksaan Agung, saya ingatkan doktrin kejaksaan Satya Adi Wicaksana. Kami yakin JPU yang relatif muda tidak akan mengkhianati sumpah saat dilantik di Kejaksaan," ucap Fredrich dengan suara keras.

Ia pun meyakini bahwa perkara yang didakwakan kepadanya tidak layak untuk dibawa ke persidangan. "Advokat tidak dapat dituntut. Tidak ada alasan apapun jaksa membangkang konstitusi. Seseorang yang sedang menjalankan profesinya diatur dalam kode etik profesi, oleh sebab itu menjadi dasar untuk menilai apakah telah sesuai atau tidak atau melanggar atau malapraktik profesi," tambah Fredrich.

Tuntutan Fredrich adalah hukuman maksimal dari dakwaan pasal 21 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Jaksa Penuntut Umum KPK pun tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Fredrich.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement