REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri menyatakan siap melakukan pengamanan dalam eksekusi terdakwa terorisme Aman Abdurrahman yang divonis mati Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/6) lalu. Waktu eksekusi Aman sejauh ini belum ditentukan karena masih menunggu proses hukum selanjutnya.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto menyatakan, eksekusi tersebut merupakan kewenangan Kejaksaan. "Kita melakukan pengamanan, kalau prinsipnya kapan pun kita siap mengamankan," kata dia saat dikonfirmasi, Sabtu (23/6).
Setyo enggan mengomentari hal lain tentang Aman. Kendati demikian, ia menegaskan, Polri siap mendukung proses hukum yang berjalan dalam hal pengamanan.
"Waktu itu relatif ya. Mau cepat lambat tetapi prinsip bagi kita aturan hukumnya yg berwenang kejaksaan yang melakukan eksekusi walaupun pelaksanaannya nanti Polri, tetapi yang mengambil keputusan eksekusi adalah jaksa," kata dia.
Terdakwa kasus bom Thamrin, bom Gereja Oikumene di Samarinda, dan bom Kampung Melayu Aman Abdurrahman alias Oman divonis pidana hukuman mati. Majelis hakim PN Jakarta Selatan, Jumat (22/6), memutuskan hal tersebut selepas membacakan pertimbangan putusan hingga dua jam lamanya.
"Menyatakan terdakwa Aman Abdurrahman telah melakukan tindak pidana terorisme. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aman Abdurrahman dengan pidana mati," ujar ketua majelis hakim Ahmad Zaini di gedung PN Jakarta Selatan, Jumat.
Adapun dakwaan JPU yang ditujukan pada Aman terbagi menjadi dua, dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer. Pada dakwaan kesatu primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dakwaan kesatu primer.
Lalu, dakwaan kedua primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Aman dalam perkara tersebut dituntut sebagai sebagai aktor intelektual sejumlah kasus teror, yaitu Bom Gereja Oikumene di Samarinda pada 2016, Bom Thamrin (2016), Bom Kampung Melayu (2017) Jakarta, serta dua penembakan polisi di Medan dan Bima (2017).
Aman sebelumnya juga pernah divonis bersalah pada kasus Bom Cimanggis pada 2010. Dalam kasus ini Aman disebut berperan dalam membiayai pelatihan kelompok teror di Jantho, Aceh Besar. Aman divonis sembilan tahun penjara.