Sabtu 23 Jun 2018 13:59 WIB

Vonis Mati Aman Abdurrahman Tuai Pro dan Kontra

LBH Masyarakat anggap hukuman mati bukan solusi tepat atasi serangan teror

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa kasus dugaan serangan teror bom Thamrin Oman Rochman alias Aman Abdurrahman (tengah) bersiap menjalani sidang pembacaan putusan (vonis) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/6).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Terdakwa kasus dugaan serangan teror bom Thamrin Oman Rochman alias Aman Abdurrahman (tengah) bersiap menjalani sidang pembacaan putusan (vonis) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vonis mati terdakwa terorisme Aman Abdurrahman, seperti vonis-vonis mati sebelumnya pun menuai pro dan kontra. Pasalnya, lagi-lagi efektivitas hukuman mati kembali dipertanyakan.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto enggan memberikan komentar mendalam terkait vonis majelis hakim pada Aman. Pasalnya, vonis tersebut memang bukan merupakan wewenang Polri.

Kendati demikian, Setyo menilai, vonis mati yang jatuh pada Aman sudah melewati berbagai pertimbangan. "Pertimbangan keterlibatan aman abdurahman di kasus-kasus yang lalu pertimbangannya pasti ada. Jadi menurut saya hakim sudah memberikan yang terbaik lah," ujar dia.

Di lain pihak, LBH Masyarakat mengecam vonis mati yang dijatuhkan terhadap Aman Abdurrahman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/6) lalu itu. Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menuturkan, pihaknya memahami bahwa aksi terorisme yang dilakukan oleh jaringan Aman Abdurahman adalah tindakan yang keji dan telah memakan banyak korban.

"Tetapi hukuman mati bukanlah jawaban atau respon yang tepat untuk mengatasi serangan teror yang terjadi di Indonesia," ujarnya, Sabtu (23/6).

Sebelumnya di 2008, tiga pelaku teror, Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas telah dieksekusi. Namun menurut Ricky, eksekusi mati terhadap ketiganya tidak menyurutkan aksi terorisme.

Eksekusi mati di dalam kasus terorisme dinilainya justru berpotensi menyulut perlawanan balik dan dapat menguatkan semangat mereka untuk melanjutkan aksi teror. "Terhadap Aman Abdurahman, salah satu opsi penghukuman yang bisa diambil misalnya hukuman seumur hidup sambil yang bersangkutan menjalani proses deradikalisasi," kata dia.

Ricky menambahkan, hukuman mati adalah hukuman yang bersifat ilusi karena seolah dapat mengatasi maraknya serangan teror yang terjadi. Padahal, kata dia, hukuman itu tidak berhasil menghentikan laju perkembangan terorisme.

"Kejahatan terorisme adalah kejahatan yang kompleks dan membutuhkan solusi terukur bersifat jangka panjang dan holistik, serta tidak bisa mengandalkan langkah reaksioner seperti hukuman mati," ujarnya lagi.

Sementara sebelumnya Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan vonis hukuman pidana mati kepada terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sudah tepat. Prasetyo mengatakan pihaknya siap mengikuti upaya hukum yang dilakukan Aman Abdurrahman usai pembacaan vonis.

"Rasanya di situ terlihat bahwa majelis hakim pun sependapat dan sepaham dengan kita bahwa Aman Abdurrahman sudah selayaknya divonis seperti itu, hukuman mati," ujar dia, Jumat (22/6).

Prasetyo menambahkan majelis hakim melihat perbuatan-perbuatan atau rangkaian peristiwa yang terjadi dan akibat yang ditimbulkan, akibat perbuatan terdakwa tersebut. Terdakwa kasus bom Thamrin, bom gereja oikumene di Samarinda, dan bom Kampung Melayu Aman Abdurrahman alias Oman divonis pidana hukuman mati.

Majelis hakim PN Jakarta Selatan, Jumat (22/6), memutuskan hal tersebut selepas membacakan pertimbangan putusan hingga dua jam lamanya. "Menyatakan terdakwa Aman Abdurrahman telah melakukan tindak pidana terorisme. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Aman Abdurrahman dengan pidana mati," ujar ketua majelis hakim Ahmad Zaini di gedung PN Jakarta Selatan, Jumat (22/6).

Adapun dakwaan JPU yang ditujukan pada Aman terbagi menjadi dua,  dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer. Pada dakwaan kesatu primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dakwaan kesatu primer.

Lalu, dakwaan kedua primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Aman dalam perkara tersebut dituntut sebagai sebagai aktor intelektual sejumlah kasus teror, yaitu Bom Gereja Oikumene di Samarinda pada 2016, Bom Thamrin (2016), Bom Kampung Melayu (2017) Jakarta, serta dua penembakan polisi di Medan dan Bima (2017).

Aman sebelumnya juga pernah divonis bersalah pada kasus Bom Cimanggis pada 2010. Dalam kasus ini Aman disebut berperan dalam membiayai pelatihan kelompok teror di Jantho, Aceh Besar. Aman divonis sembilan tahun penjara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement