Ahad 24 Jun 2018 22:51 WIB

Otto Hasibuan Bantah Keterangan Saksi BLBI

Dana BLBI dipergunakan BDNI untuk memenuhi penarikan dana besar-besaran.

Rep: EH Ismail/ Red: Hiru Muhammad
Otto Hasibuan
Foto: ROL/Fakhtar Khairon Lubis
Otto Hasibuan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar hukum Profesor Otto Hasibuan sangat menyesalkan kesaksian  pada persidangan perkara mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Kamis (21/6).

Saksi dinilai mencampuradukan antara pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dengan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang  jauh menyimpang dari fakta yang sebenarnya.

Pengacara terkemuka itu menyatakan, kesaksian tersebut jauh dari relevansi kasus yang diperkarakan karena dakwaan terhadap Temenggung adalah terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SKL.

“Maka, tidaklah relevan dalam perkara tersebut dikaitkan dengan pemberian atau penyaluran dana BLBI oleh BDNI,” kata Otto dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (24/6) malam.

Menurut dia, kesaksian itu tidak adil dan menyesatkan mengingat BDNI bukanlah pihak dalam perkara Syafruddin Temenggung, sehingga tidak bisa mengklarifikasi ataupun membela diri.

Terkait pernyataan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum mengenai penyaluran dana BLBI oleh BDNI ke grup sendiri dalam pemeriksaan terhadap saksi Iwan Ridwan Prawiranata, mantan Ketua BPPN, saksi mengiyakan. Namun, saksi menyatakan hanya membaca laporan pengawasan Bank Indonesia (BI).

Otto melanjutkan, Iwan bukanlah sebagai saksi yang langsung melakukan pengawasan atau mengetahui langsung penyaluran dana BLBI oleh BDNI.  Laporan pengawasan tersebut bersifat sepihak dan masih perlu dibuktikan kebenarannya. Apalagi, berdasarkan laporan BI, sampai dengan akhir Desember 1997, BDNI masih dikategorikan sebagai bank sehat.

Otto Hasibuan yang merupakan pengacara Sjamsul Nursalim (mantan pemegang saham BDNI) menyatakan, kliennya membantah keras dana BLBI telah disalurkan BDNI kepada grup sendiri. Semua penyaluran dana BLBI oleh BDNI dipergunakan untuk memenuhi penarikan dana besar-besaran oleh nasabah pada waktu krisis, menutupi kerugian selisih kurs, dan pembayaran bunga, serta denda BI yang jumlahnya sangat besar.

“Perusahaan klien kami bahkan masih menyetor sejumlah dana ke dalam BDNI dan tetap mempertahankan depositonya untuk mendukung pendanaan BDNI di tengah krisis sampai dengan BDNI dibekukan operasinya (BBO),” kata dia.

Pada 4 April 1999, manajemen BDNI di-take-over oleh BPPN. Sejak saat itu, penyaluran dana BLBI sepenuhnya dalam kendali Tim Manajemen BPPN. Sampai dengan penyelesaian keseluruhan kewajiban BLBI, BDNI tidak pernah dipermasalahkan mengenai penyalahgunaan BLBI oleh BI.

“Lalu, bagaimana bisa setelah lebih dari 21 tahun setelah krisis hal ini baru dibicarakan?” kata Otto.

KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus BLBI pada April 2017. Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI. Berdasarkan audit investigatif BPK, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp 4,58 triliun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement