Senin 25 Jun 2018 07:30 WIB

Pakar: Kemenkumham tak Berwenang Menilai Peraturan KPU

Aturan larangan nyaleg untuk mantan koruptor memang idealnya diatur UU.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Mantan koruptor dilarang jadi caleg.
Foto: republika
Mantan koruptor dilarang jadi caleg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tidak memiliki kewenangan untuk melarang KPU menerbitkan peraturan. Tugas Kemenkumham dalam hal ini hanya bersifat administratif.

"Karena tidak ada kewenangan Kemenkumham untuk menilai apakah peraturan itu benar atau tidak. Kemenkumham hanya bersifat kewajiban administratif untuk mengadministrasi penerbitan aturan. Untuk menilai substansi, adanya di judicial review," tutur dia kepada Republika.co.id, Ahad (24/6).

Zainal menerangkan, KPU sebagai lembaga negara independen yang bersifat self regulatory body dapat membuat peraturan yang membuat norma hukum bila itu dipandang penting. Ia mengakui, aturan tersebut idealnya diatur dalam undang-undang.

"Tapi jika pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR, tidak mau maka demi menjaga martabat negara dan kepemiluan, penting bagi KPU untuk mengatur sebagaimana tugas yang diberikan kepadanya," ungkapnya.

Baca juga: Mantan Koruptor Jadi Caleg Rawan Gugatan" href="http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/05/23/p964mh430-larangan-mantan-koruptor-jadi-caleg-rawan-gugatan" target="_blank" rel="noopener">Larangan Mantan Koruptor Jadi Caleg Rawan Gugatan

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya akan tetap memberlakukan PKPU pendaftaran caleg, meski tidak diundangkan oleh Kemenkumham. Arief menegaskan, KPU tidak mungkin menunda tahapan pencalonan caleg. Meski demikian, KPU tidak mau terburu-buru.

Sebelum itu, KPU terlebih dahulu mengumpulkan sejumlah ahli tata negara untuk dimintai pendapatnya. Berdasarkan hasil pertemuan itu, para ahli hukum tata negara sepakat mendesak Kemenkumham segera mengundangkan PKPU yang memuat aturan larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi caleg.

Salah seorang ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan, ketika PKPU sudah ditandatangani oleh ketua KPU maka aturan itu sudah berlaku. Namun, dia mengingatkan adanya aturan pada UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang pembentukan aturan perundang-undangan yang mengharuskan suatu aturan harus diundangkan terlebih dahulu.

"Pengundangan ini adalah kewajiban dari Kemenkumham. Nah, proses ini biasanya sifatnya memang administratif saja," kata Bivitri.

Baca juga:  Yang tak Setuju Mantan Koruptor Jadi Caleg Bisa Gugat ke MA

Bivitri melanjutkan, dilihat dari sifat kelembagaan dan putusan Mahkamah Konstitusi, KPU adalah lembaga independen. Karena itu, KPU tidak bisa diposisikan sebagai lembaga yang diminta untuk melakukan harmonisasi. Ia juga mengingatkan kepada Kemenkumham bahwa ini bukan peran mereka untuk melakukan harmonisasi.

"Silakan diundangkan saja, sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011. Bila nanti ada yang keberatan, merasa ada yang melanggar UU, silakan diuji di Mahkamah Agung (MA)," kata Bivitri. 

Sebelumnnya, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana meminta KPU mau kembali melaksanakan sinkronisasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk membahas PKPU pencalonan caleg. Hal tersebut merupakan tanggapan atas pernyataan KPU yang siap mengundangkan PKPU secara mandiri jika tidak juga disetujui oleh Kemenkumham.

"Kemenkumham berharap, KPU melakukan sinkronisasi/penyelarasan dengan mengundang kememterian/lembaga terkait, seperti Bawaslu, DKPP, Kemendagri, MK, dan sebagainya," ujar Widodo ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (20/6).

Menurut dia, rapat koordinasi untuk sinkronisasi dan penyelarasan itu penting agar nantinya PKPU yang disusun tidak bertentangan dengan putusan MK dan peraturan yang lebih tinggi. Widodo mengungkapkan bahwa dalam surat Kemenkumham kepada KPU saat mengembalikan PKPU pencalonan caleg beberapa waktu lalu, masukan ini sudah diberikan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement