REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BRI Syariah (BRIS) menyebutkan, pertumbuhan pembiayaan terus naik. Pada Mei 2018, kenaikannya mencapai 11,5 persen secara year on year (yoy) dari Rp 18,31 triliun pada Mei 2017 menjadi Rp 20,42 triliun.
"Pada Juni atau kuartal II tahun ini juga tumbuh. Hanya saja untuk angkanya kita tunggu dulu sampai akhir Juni," ujar Direktur Utama BRIS Hadi Santoso saat ditemui di Jakarta, Selasa (26/6).
Ia menjelaskan, tahun ini perseroan menargetkan penyaluran pembiayaan bisa menembus Rp 22,68 triliun atau tumbuh 14 sampai 15 persen yoy. Dengan strategi penyaluran dalam jangka pendek ke komersial lalu jangka panjang paralel ke segmen ritel meliputi konsumer serta mikro.
"Pembiayaan komersial itu ada beberapa di komoditi dan infrastruktur. Pembiayaan ke infrastruktur tidak hanya jalan tol tapi juga kelistrikan dan lainnya," ujar Hadi.
Selain bekerja sama dengan induk perusahaan, Bank Rakyat Indonesia (BRI), menurut Hadi, dalam menyalurkan pembiayaan komersial, perseroan menggandeng pula beberapa perusahaan BUMN yang melakukan investasi seperti PNM, Jasa Marga, serta lainnya.
Direktur Operasional BRIS Wildan menambahkan, saat ini porsi pembiayaan komersial sebanyak 30 persen atau maksimal 34 persen. Kemudian sisanya ke segmen ritel.
"Keseimbangan antara penyaluran pembiayaan komersial dan mikro selalu kita jaga. Hanya saja, jangka pendek kita fokus ke pembiayaan komersial dulu karena bisa mempercepat pertumbuhan aset," jelasnya.
Lebih lanjut, kata dia, rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing (NPF) BRIS masih terjaga di bawah lima persen. "Kita terus targetkan NPF di bawah koridor acuan OJK. Saat ini sebesar 4,32 persen," kata Wildan.
Untuk menjaga NPF, kata dia, perseroan terus melakukan restrukturisasi. Tidak hanya itu, kini BRIS pun lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan.
"Secara spesifik tidak ada sektor yang kita hindari tapi relatif selektif. Pasalnya dulu-dulu sektor yang paling banyak (menyumbang NPF) di komoditas yang terkait batu bara dan minyak," tuturnya.