REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Amnesti International mengatakan para pejabat senior militer Myanmar harus menghadapi pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan kepada Rohingya. Mereka termasuk para komandan dari dinas pertahanan dan militernya.
Amnesti menyerukan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk merujuk temuan laporan itu ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). DK PBB diharapkan memberlakukan embargo senjata komprehensif ke Myanmar dan sanksi keuangan terhadap pejabat senior.
Amnesti, yang memulai penyelidikannya pada September, mengatakan operasi yang dipimpin militer merupakan sebuah kampanye yang dirancang untuk pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan penghancuran. Ini bertujuan untuk menghukum penduduk Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara dan memaksa mereka meninggalkan Myanmar.
Menurut Amnesti, komandan Pelayanan Pertahanan Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan wakilnya dan Jenderal Senior Soe Win, serta komandan unit tertentu telah banyak melakukan kekejaman. Laporan itu juga menyebutkan delapan anggota militer lainnya dan tiga anggota Polisi Penjaga Perbatasan.
Amnesti mengatakan orang-orang ini harus menghadapi keadilan atas tanggung jawab komando mereka, pertanggungjawaban pribadi atau keduanya. Seorang juru bicara militer Myanmar tidak bisa dimintai komentar.
Di Myanmar, Rohingya secara luas disebut "Bengali," yang mereka anggap imigran gelap dari Bangladesh. Meskipun banyak orang Rohingya yang hidup di Myanmar selama beberapa generasi, namun mereka telah ditolak kewarganegaraannya.
Amnesti meminta Myanmar untuk menghentikan pembatasan kebebasan bergerak dan mengembalikan kewarganegaraan kepada Rohingya. Pada Februari, Reuters melaporkan pembunuhan 10 pria dan anak-anak Rohingya oleh kaum Budha Rakhine dan pasukan keamanan di desa Inn Din.
Dua wartawan Reuters dipenjarakan pada Desember di Myanmar ketika melaporkan cerita itu dan tetap di penjara di Yangon. Ia menghadapi hukuman 14 tahun penjara karena diduga melanggar UU Rahasia Resmi Myanmar.
Myanmar telah menolak sebagian besar tuduhan kesalahan dan mengatakan pihaknya melancarkan operasi kontra-pemberontakan yang sah setelah serangan terhadap militernya oleh militan Rohingya Agustus lalu. Di Myanmar tidak ada pengawasan sipil terhadap keadilan militer.
Pengadilan Kriminal Internasional, pengadilan kejahatan perang permanen pertama di dunia, tidak memiliki yurisdiksi otomatis atas Myanmar karena Myanmar bukan negara anggota. Namun, ICC telah diminta untuk mempertimbangkan kasus terpisah yang berurusan dengan Myanmar yang diduga mendeportasi Rohingya ke Bangladesh, yang merupakan negara anggota ICC.
ICC tidak segera menanggapi permintaan komentar di luar jam kerja di Den Haag. Jika Dewan Keamanan PBB merujuk temuan Amnesti ke ICC, itu juga akan memberikan yurisdiksi pengadilan untuk melakukan penyelidikan.
Dihubungi pada Selasa (26/6), delegasi Rusia ke PBB, yang saat ini memimpin Dewan Keamanan PBB, maupun Misi Myanmar ke Perserikatan Bangsa-Bangsa belum bersedia untuk berkomentar. Seorang juru bicara pemerintah Myanmar juga tidak bisa dimintai komentar.
Sekitar 700 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar sejak penumpasan militer Agustus lalu yang oleh PBB disebut contoh lembersihan etnis. Laporan khusus Reuters pada Selasa (26/6) juga memberi laporan komprehensif tentang peran yang dimainkan oleh dua divisi infantri ringan dalam serangan terhadap Rohingya.