REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil Pilkada Serentak 2018 di Jawa Timur dan Jawa Barat dinilai mengejutkan. Itu karena pasangan yang dianggap unggul dan memiliki basis partai yang kuat justru menelan kekalahan.
Peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengakui ada pergeseran peta suara partai di Pilkada 2018. Menurutnya, Pilkada 2018 ini lebih kepada aspek figur dan ketokohan dari pasangan calon yang berkancah di Pilkada daerah tersebut.
Selain itu, hasil pilkada juga hampir selalu berbeda dengan perolehan partai pengusung yang dapat di pileg. "Contohnya Jawa Timur, PDIP dan PKB itu dua partai yang cukup dominan di Pileg. Namun di Pilkada ketika berkoalisi malah tidak, itu artinya dalam konteks Pilkada aspek ketokohan itu memegang peranan ketimbang parpol pengusung," ujar Syamsudin saat dihubungi wartawan, Rabu (27/6).
Syamsudin melanjutkan, begitu halnya di Jawa Barat, figur ketokohan Ridwan Kamil dianggap menjadi faktor kemenangan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum di Jawa Barat. Sebab jika dilihat dari partai pengusungnya, basis kuat di Jawa Barat sebagaimana pilkada lalu adalah PKS.
"Nah itu juga kemudian yang kita liat dalam konteks Ridwan Kamil di Jabar. RK kan pada dasarnya bukan kader parpol. Tapi bisa menang," ungkap Syamsudin.
Selain figur, Syamsuddin juga menilai, perubahan peta suara di Pilkada 2018 juga dikarenakan tidak berjalannya mesin partai. Hal itu menurutnya, yang nampak dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur dimana basis PKB dan PDIP kuat di Jatim tak mampu memenangkan Gus Ipul.
Tidak halnya di Jawa Barat, meskipun Sudrajat-Saikhu kalah dari Ridwan Kamil, namun jumlah suara yang diperoleh tidak terpaut jauh. "Saya pikir ada. Walaupun tidak sama di setiap daerah. di Jatim mesin partai tidak berjalan PDIP dan PKB dominan tapi nggak efektif kalah dengn ketokohan," ujarnya.