REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa alam membangkitkan minat kaum intelektual Muslim. Banyak ilmuwan melakukan kajian, menuliskan, dan melahirkan teori baru tentang alam. Gerhana matahari dan bulan termasuk menjadi bagian dari objek penelitian para ilmuwan Muslim. Catatan mereka tentang gerhana itu pun berserak.
Abu Abdullah Muhammad ibnu Jabir al-Battani merupakan salah satu ilmuwan Muslim yang mengamati dan mengkaji gerhana. Ia dikenal sebagai seorang peneliti kawakan dan astronom terbesar pada masa Islam. Serangkaian observasinya dilakukan di Raqqah, kota kecil di tepian Sungai Eufrat, antara 877 hingga 918 Masehi.
Melalui bukunya, History of the Arabs, Philip K Hitti menyatakan, dengan kerja kerasnya, al-Battani berhasil membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari cincin. Ia menggunakan metode trigonometri. Bukan perhitungan geometri seperti yang umum digunakan ilmuwan pada masa itu.
Langkah al-Battani dengan trigonometri mampu membuat perhitungan gerhana lebih cermat dan akurat. Tak heran jika ia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar gerhana. Kemudian, ia mengoreksi sejumlah penemuan Ptolemeus, filsuf Yunani kuno.
Ilmuwan Muslim.
Misalnya, jarak antara matahari dan bumi serta perkiraan munculnya bulan baru. Tujuh abad berikutnya, tepatnya tahun 1749, astronom Barat bernama Dunthorne mengadopsi metode pengamatan al-Battani mengenai gerhana bulan dan matahari. Al-Battani juga menulis banyak buku dalam bidang astronomi dan trigonometri.
Karyanya yang terkenal adalah Kitab al Zij. Buku ini berisi katalog, tabel, dan penjelasan mengenai 470 bintang dan benda-benda di langit. Sejak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada 1116 dengan judul De Motu Stellarum (Pergerakan Bintang-bintang), karya ini menginspirasi banyak ilmuwan, seperti Kepler, Galileo, dan Copernicus.
Abu al-Rayhan al-Biruni, yang wafat pada 1048, tercatat sebagai astronom Muslim terkemuka yang juga mengamati peristiwa gerhana. Ia menuangkan hasil penelitiannya dalam sebuah karya, Kitab Tahdid Nihayat al-Amakin li Tashih Masafat al-Masakin (Penentuan Koordinat dari Posisi untuk Koreksi Jarak antara Kota).
Satu bahasan yang ia uraikan adalah dampak melihat gerhana matahari secara langsung terhadap mata. Al-Biruni mengungkapkan, setiap terjadi gerhana matahari indra penglihatan manusia seakan tak kuasa untuk tak menyaksikannya. Namun, perlu diketahui, melihat langsung gerhana itu bisa membuat penglihatan merasa silau.
ger
Fase gerhana bulan
Bahkan, menimbulkan efek berbahaya terhadap mata. Bila dilakukan terus-menerus, bisa berakibat fatal, misalnya kebutaan. Lebih baik melihat bayangan gerhana matahari melalui air sehingga dampak fatalnya bisa dikurangi, ujar al-Biruni memberikan nasihat dan trik untuk menikmati peristiwa alam itu tanpa menimbulkan risiko.
Bukan tanpa latar belakang, al-Biruni memberi nasihat bijaknya itu. Dalam bukunya, ia mengungkapkan bahwa sewaktu muda ia menatap langsung ke arah matahari saat terjadi gerhana. Keputusan al-Biruni tersebut mengakibatkan penglihatannya menjadi agak terganggu.
Menurut A Zahoor dalam tulisannya, Abu al-Rayhan Muhammad al-Biruni, kawasan di Afghanistan dipilih al-Biruni sebagai lokasi untuk mengamati dan menggambarkan terjadinya gerhana matahari pada 8 April 1019. Beberapa bulan kemudian, yaitu pada 17 September 1019, ia melakukan pengamatan gerhana bulan.
Al-Biruni membuat perhitungan terperinci, termasuk posisi ketinggian bintang-bintang selama berlangsungnya gerhana. Ia juga menggambarkan peristiwa gerhana matahari yang diamatinya di Lamghan, sebuah lembah yang dikelilingi pegunungan di antara Kandahar dan Kabul.
Gerhana Matahari
Saat matahari terbit, kami melihat sekitar sepertiga dari matahari hilang cahayanya dan gerhana mulai memudar, ungkap al-Biruni. Dari pengamatan gerhana bulan di Ghazna, ia memberikan gambaran tepat mengenai ketinggian beberapa bintang pada saat terjadi kontak pertama.
Astronom Muslim lainnya, Abu’l-Hasan ‘Ali ibnu Abd al-Rahman ibnu Yunus (950-1009), ikut memberikan sumbangan penelitian terhadap gerhana. Bekerja di Kairo satu abad setelah era al-Battani, Ibnu Yunus menulis sebuah buku yang menjadi pegangan ahli astronomi sesudahnya, yaitu Al-Zij al-Hakimi al-Kabir.
Buku penting ini didedikasikan untuk Khalifah al-Hakim. Astronom Simon Newcomb, dalam Researches on the Motion of the Moon, mengatakan bahwa Ibnu Yunus mengawali al-Zij dengan serangkaian penjelasan terhadap lebih dari 100 observasi. Sebagian besar mengenai gerhana bulan ataupun matahari dan pergerakan planet.
Di sisi lain, Ibnu Yunus memberikan uraian tentang 40 konjungsi planet secara akurat dan 30 gerhana bulan. Simon Newcomb mengadopsi pemikirian Ibnu Yunus ini untuk mengembangkan teori gerhana bulannya. Dalam bukunya, Ibnu Yunus memberikan keterangan gerhana bulan yang diamati.
Jilatan corona matahari tampak dari foto gerhana matahari yang diambil di Dayton, Tennesse
Menurut dia, salah satu gerhana bulan yang diamatinya terjadi pada 10 Syawal 370 Hijriyah atau 22 April 981 Masehi. Ia dan sejumlah koleganya melakukan pengamatan di al-Qarafa di Masjid Ibn Nasr al-Maghribi. Kontak pertama berlangsung saat ketinggian bulan mencapai 21 derajat.
Ketika itu, gerhana menutup sekitar seperempat dari diameter bulan. Cahaya bulan muncul kembali satu seperempat jam sebelum matahari terbit. Buku yang ditulis Ibnu Yunus pada kemudian hari menjadi pegangan penting serta digunakan secara luas di dunia Islam.
Ibnu Yunus melaporkan pengamatan lainnya, yaitu gerhana matahari yang terjadi pada 11 November 923 Masehi. Gerhana matahari tersebut, kata dia, dikalkulasi dan diobservasi oleh Abu al-Hassan Ali ibn Amajur, yang menggunakan perangkat tabel al-Zij al-Arabi of Habash. Ia juga menjadi bagian dari tim bersama Abu al-Hassan.
Tak hanya Al-Zij al-Hakimi al-Kabir yang membuat Ibnu Yunus menjadi buah bibir di kalangan ilmuwan. Ia pun menuliskan karya lain, yaitu Hakenite’s Tables, sebuah kompilasi dari sekitar 1.005 dokumen tentang gerhana. Di antaranya adalah gerhana matahari pada 993 dan 1004 serta gerhana bulan pada 1001 dan 1002 Masehi.
Lintasan Peristiwa Gerhana
Gerhana, baik matahari maupun bulan, yang terjadi di dunia Islam tak luput dicatat. Ini terjadi dari India Utara hingga Andalusia. Catatan itu berisi informasi tak hanya tentang gerhana, tetapi juga kapan gerhana terjadi berdasarkan kalender Hijriyah. Pada masa berikutnya, banyak manfaat yang dipetik melalui catatan tersebut.
Salah satunya digunakan untuk memverifikasi perhitungan dari kejadian gerhana pada masa lalu dengan berbagai fenomena astronomi yang berlangsung pada masa terkini. Misalnya, kaitan antara gerhana dan penampakan komet yang disebutkan oleh sejarawan Maroko, Ibnu Abi Zar, pada abad ke-14.
Dalam buku Al-Muntadham fi tarikh al-muluk wa-'l-umam yang terdiri atas 10 volume, sejarawan asal Baghdad, Abu al-Faraj ibnu al-Jawzi (508-597 H), mendeskripsikan sebuah peristiwa gerhana matahari total yang terjadi pada 20 Juni 1061 Masehi. Gerhana itu terjadi pada hari Rabu.
Warga berpose dengan latar gerhana bulan
Sejarawan dan astronom, FR Stephenson, mengonfirmasi bahwa tanggal yang disebutkan oleh Ibn al-Jawzi sangat tepat. Tiga laporan berbeda juga muncul untuk menggambarkan gerhana pada 11 April 1176. Salah satunya ditulis oleh Ibnu al-Atsir ketika masih berusia 16 tahun dalam buku al-Kamil fi al Tawarikh.
Ia mendeskripsikan suasana gelap yang berlangsung ketika puncak gerhana matahari total. Kegelapan itu bahkan disamakan dengan gelapnya malam hingga seolah akan muncul bintang-bintang di langit. Padahal, kata dia, saat itu adalah waktu sebelum tengah hari pada Jumat, 29 Ramadhan, di Jazirat Ibnu Umar, sekarang Cizre di Turki.
Ketika melihat itu, saya sangat takut. Saya pun memegangi tangan guru saya dan jantung saya tetap berdebar-debar. Guru saya yang telah mempelajari perbintangan sejak lama lantas berkata, ‘Jangan takut, sebentar lagi matahari akan bersinar lagi dan semuanya menjadi sedia kala,’ kata ibn Atsir.