Jumat 29 Jun 2018 10:57 WIB

Parlemen Australia Godok UU Antiperbudakan Modern

Pembayaran upah yang kurang termasuk perbudakan modern.

UU Perbudakan Modern yang diusulkan akan memaksa pengusaha mengevaluasi rantai pasokan mereka.
Foto: Reuters/Sukree Sukplang
UU Perbudakan Modern yang diusulkan akan memaksa pengusaha mengevaluasi rantai pasokan mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Di Australia, oposisi Partai Buruh menyebut perubahan yang diusulkan ini 'tidak bergigi’. Namun, mereka berencana memberikan dukungan bagi UU Antiperbudakan Modern yang diajukan pemerintah.

Jika berhasil disahkan, undang-undang ini akan memaksa sekitar 3.000 pengusaha di Australia dengan omzet tahunan sebesar 100 juta dolar AS atau lebih untuk mengungkapkan identitas dalam rantai pasokan mereka, dan melaporkannya kepada pihak berwenang. "Bisnis kemudian harus merinci langkah apa yang telah mereka lakukan, akan lakukan, untuk mengatasi risiko ini," kata Asisten Menteri Dalam Negeri Alex Hawke.

RUU ini akan memungkinkan bisnis besar, konsumen, masyarakat sipil dan pemerintah bekerja sama menghilangkan perbudakan modern dalam rantai pasokan. Unit Pelibatan Perbudakan Modern dalam bisnis, beranggaran 3,6 juta dolar AS, akan menyiapkan persyaratan pelaporan dan dukungan bagi 3.000 pengusaha di  Australia yang terkena dampak.

Perbudakan modern termasuk di mana orang dipaksa menjadi pelacur, atau dipaksa bekerja dengan dibayar upah rendah dalam bidang konstruksi, pabrik pakaian atau rantai pasokan makanan. Hal ini juga dapat termasuk pembayaran upah yang kurang, ditolak perpanjangan visa oleh majikan atau dipaksa tinggal di akomodasi yang kotor.

Desakan penerapan sanksi

Juru bicara Kehakiman dari oposisi Clare O'Neil mengatakan RUU itu lemah karena tidak menetapkan hukuman bagi perusahaan yang menolak melaporkan perbudakan dalam rantai pasokan mereka. "Seharusnya ketentuan ini tidak opsional dalam memutuskan apakah Anda mengikuti undang-undang atau tidak," katanya.

"Hukuman yang didesak untuk diberlakukan oleh Partai Buruh tidak ditujukan kepada perusahaan yang mendapati adanya praktik perbudakan modern dalam rantai pasokan mereka, karena bisnis yang menemukan perbudakan dan melakukan sesuatu mengenai hal itu harus dihargai," katanya.

"Kami berbicara tentang pengusaha yang bahkan tidak peduli dengan tindakan perbudakan modern, karena jika mereka tidak dapat peduli dalam membuat laporan saja, maka saya pikir mereka harus dihukum," katanya.

Seorang juru bicara departemen Kehakiman kepada ABC mengatakan aturan sanksi itu tidak tidak diperlukan untuk memastikan bisnis mengikuti hukum, tetapi hukum akan ditinjau dalam tiga tahun untuk melihat apakah itu berhasil. Partai Buruh juga mengkritik RUU itu karena tidak membentuk komisioner perbudakan modern yang independen, mirip dengan model Inggris, dan akan melobi untuk peran yang akan dibuat.

"Kami ingin RUU ini dilanjutkan dengan dukungan bipartisan, jadi kami mendorong RUU yang melakukan apa yang dikatakannya coba lakukan, yaitu untuk mengatasi perbudakan modern," katanya.

Perbudakan modern memiliki banyak bentuk

PBB memperkirakan 25 juta orang dieksploitasi dalam rantai pasokan global, termasuk di bidang pertanian, manufaktur dan industri konstruksi. Sekitar 4.000 di antaranya diperkirakan berada di Australia.

Perbudakan modern di luar negeri memiliki beberapa bentuk. Hal ini dapat merujuk pada orang yang dipaksa menjadi pelacur, atau dipaksa bekerja untuk upah rendah dalam konstruksi, sweatshop atau rantai pasokan makanan. Mereka dapat dipaksa untuk bekerja melalui ancaman kekerasan, penindasan, atau dalam kasus yang lebih ekstrem mereka dapat benar-benar diperjualbelikan atau dibatasi geraknya.

Di Australia, hal itu lebih umum terjadi di sektor hortikultura, terutama para backpacker yang dibayar rendah, ditolak perpanjangan visa oleh majikan mereka atau dipaksa untuk tinggal di akomodasi yang kotor. Mark Lamb, dari badan puncak global untuk pengadaan, Chartered Institute of Procurement and Supply (CIPS), mengatakan undang-undang itu menunjukkan Australia serius menangani perbudakan modern di dalam dan luar negeri.

"Saya pikir ini adalah langkah pertama yang sangat baik bagi Australia karena kami telah melihatnya diterapkan di negara lain, dan bagi Australia untuk menerapkan ini merupakan langkah maju yang besar," katanya.

Survei menunjukkan banyak hal untuk dipelajari

Pada Mei, CIPS merilis hasil survei perbudakannya. Survei menemukan sebagian besar manajer pengadaan tidak siap untuk persyaratan pemerintah yang baru.

Dalam survei itu, 45 persen manajer pengadaan setuju undang-undang diperlukan, tetapi seperempat dari semua responden khawatir hal itu akan berdampak kecil. Pada saat survei, 20 persen organisasi tidak mengambil langkah apa pun untuk memastikan rantai pasokan bebas perbudakan, tetapi 80 persen mengatakan mereka termotivasi untuk mengatasi masalah ini karena risiko reputasi mengabaikannya.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-06-29/uu-perbudakan-modern/9922780
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement