REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Iqbal
Setiap perhelatan Piala Dunia FIFA memiliki nasib sialnya tersendiri. Tidak terkecuali Piala Dunia 2018 di Negeri Beruang Merah, Rusia.
Secara mengejutkan, sang juara bertahan, Jerman, tersingkir di fase grup. Kepastian itu diperoleh selepas Die Mannschaft takluk 0-2 dari Korea Selatan (Korsel) dalam laga pamungkas Grup F di Kazan Arena, Rabu (27/6) malam.
Hasil itu membuat Jerman harus rela terbenam di dasar klasemen dengan raihan tiga poin dari tiga pertandingan. Tampil sebagai juara grup, yaitu Swedia, berbekal koleksi enam angka. Disusul Meksiko sebagai runner-up dengan raihan poin serupa.
Kegagalan Jerman memperpanjang "kutukan" juara bertahan, paling tidak dalam lima gelaran Piala Dunia FIFA terakhir. Jauh sebelum itu, fakta sejarah mengungkapkan, selama 88 tahun turnamen, teramat langka juara bertahan mempertahankan gelar. Tercatat hanya dua negara yang mampu, yakni Italia (1934 dan 1938) dan Brasil (1958 dan 1962).
Namun, akhir-akhir ini, tidak hanya sulit mempertahankan titel, juara bertahan juga kesulitan untuk lolos dari babak pertama turnamen. Prancis pada Piala Dunia 2002, Italia (2010), Spanyol (2014), dan Jerman (2018). Pengecualian pada Piala Dunia 2006. Ketika itu, Brasil memang mampu lolos dari fase grup, tetapi harus terhenti di babak perempat final.
Tak ayal, kegagalan Jerman pada Piala Dunia 2018 di Rusia kembali membuka diskusi perihal kutukan juara bertahan. Benarkah itu sekadar kutukan atau nasib sial? Jika dicermati, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kegagalan mereka.
Pertama, para juara memulai turnamen dengan buruk. Masih ingat dengan kekalahan Prancis dari Senegal dalam laga pembuka Piala Dunia 2002? Atau kegagalan Spanyol membekap Swiss juga dalam pertandingan perdana Piala Dunia 2014? Kekalahan pada partai pertama tak pelak menghadirkan kesulitan bagi tim dari sisi psikologis dalam mengarungi laga-laga berikut.
Poin kedua adalah ketiadaan ide segar. Hadir sebagai juara bertahan membuat sebuah negara percaya diri dengan taktik mereka. Misalnya, tiki-taka Spanyol yang merajai Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Namun, tak dinyana, taktik itu luluh lantak hanya dalam empat tahun berselang. Negara-negara, seperti Belanda, berhasil menemukan cara menjinakkan tiki-taka berbekal determinasi dan kecepatan dalam bermain.
Demikian pun, gaya Eropa klasik milik Jerman yang sejatinya masih relevan. Akan tetapi, kompetitor mereka di Grup F, yaitu Meksiko, Swedia, hingga Korsel, menggunakan pendekatan berupa tekanan sejak lini pertahanan Jerman. Serangan balik dari sisi sayap juga menjadi faktor kunci.
Poin terakhir adalah tekanan dari berbagai pihak. Dalam kasus Jerman, sang pelatih Joachim Loew membantah bahwa timnya mengalami tekanan. Namun, itu tak lepas dari sebuah upaya menenangkan situasi.
Pelatih Italia saat menjuarai Piala Dunia 2006, Marcelo Lippi, menuturkan, teror ada di kaki, kepala, dan hati para pemain. Tekanan yang melahirkan rasa takut gagal yang muaranya adalah kegagalan.
Joachim Loew
Nasib Loew
Sampai dengan Kamis (28/6), pelbagai analisis di berbagai media internasional masih beredar perihal kegagalan Jerman. Demikian pun headline berbagai media massa di Jerman maupun Eropa yang mengkritik habis kiprah Manuel Neuer dan kawan-kawan.
Apalagi, ini pertama kalinya Jerman tersingkir di putaran grup sejak 1938. "Ini adalah aib terbesar Jerman dalam sejarah Piala Dunia," demikian laporan Bild.
Meme kocak pun bertebaran soal petaka Jerman ini. Namun, yang paling serius ketika memperlihatkan foto klasik kekalahan Jerman di putaran grup Piala Dunia 1938. Sebuah tulisan di bawah foto itu: Perang Dunia II.
Maksudnya jelas, Jerman hanya pernah kalah satu kali di babak penyisihan grup. Ketika Jerman kalah satu kali itu, muncul Perang Dunia II dan naiknya Adolf Hitler.
Kolumnis Reuters di Jerman, Karolos Grohmann, menilai data apa pun tidak akan menjelaskan tersingkirnya Die Mannschaft. Kegagalan lebih pada kepuasan dalam sepak bola Jerman beberapa tahun belakangan.
Hal itu melanda klub, liga, asosiasi, hingga para pemain itu sendiri. "Sejak kemenangan sensasional Jerman pada Piala Dunia 2014, aktor utama sepak bola Jerman berpangku tangan, meraup banyak uang, dan berpikir masa-masa indah akan terus bertahan selamanya," tulis Grohmann.
Kembali ke Piala Dunia 2014, tepat sebelum Piala Dunia, terdapat empat klub Jerman yang sukses melewati fase grup Liga Champions. Musim ini hanya satu, siapa lagi kalau bukan Bayern Muenchen.
Grohmann menambahkan, setahun sebelumnya, All German Final terjadi saat Muenchen bersua Borussia Dortmund. Sebelumnya pada 2011 dan 2012, Dortmund memenangkan liga. Sejak itu, monopoli Muenchen. Kompetisi yang monoton membuat pemain Jerman kehilangan daya saing. "Alasan untuk semua ini sederhana: uang," tulis Grohmann.
Kolumnis ESPN Raphael Honigstein menulis tanda-tanda kegagalan Jerman sudah terlihat jauh sebelum Piala Dunia 2018 di Rusia. Kekalahan atas Austria dan kemenangan tipis atas Arab Saudi ditambah permainan standar saat menghadapi Spanyol dan Brasil dua bulan sebelumnya merupakan pertanda.
"Bahwa ada sesuatu yang sangat salah, tapi Loew meyakinkan publik dan ruang ganti bahwa segalanya akan baik-baik saja begitu Piala Dunia tiba," tulis Honigstein.
Melihat tiga laga Jerman secara keseluruhan, Honigstein menilai kesalahan ada pada Loew, bukan para pemain. Kesuksesan pada Piala Konfederasi 2017 pada saat Jerman memainkan skuat muda tidak dilanjutkan.
"Loew tetap bertahan dengan skuat lawas disertai formula basi yang sukses dibungkam oleh kecerdasan Meksiko pada laga pembuka. Pada akhirnya, Jerman tidak pernah pulih dari pukulan itu," tulis Honigstein lagi.
Namun, dia menilai, Jerman memiliki banyak pemain berkualitas untuk bersaing memperbutkan Piala Dunia berikut. Kuncinya, lanjut Honigstein, bukan pada pemain, melainkan pada Loew. Apakah dia akan melanjutkan kiprah belasan tahunnya melatih Jerman atau tidak.
Loew bukannya tidak menyadari posisi sulit yang dihadapi. Setelah kekalahan dari Korsel, Loew mengaku membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan masa depannya. "Saya harus bertanggung jawab untuk ini."