Sabtu 30 Jun 2018 06:30 WIB

Agar Rupiah Tetap Tegar

BI menaikkan suku bunga acuan dan melonggarkan down payment (DP) properti.

Pelemahan rupiah membuat IHSG ikut tertekan
Foto: republika
Pelemahan rupiah membuat IHSG ikut tertekan

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Iit Septyaningsih, Elba Damhuri

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mendapat sorotan. Sorotan pertama muncul ketika mata uang bangsa ini melemah hebat hingga menyentuh 14 ribu per dolar AS di awal Ramadhan.

Namun, usai pelantikan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang baru, Perry Warjiyo, rupiah kembali menguat dan kembali ke level 13 ribuan per dolar AS. Gonjang-ganjing pun mereda. Tetapi itu sesaat.

Kini rupiah kembali mendapat sorotan setelah kembali tembus di level 14 ribuan, yang dikhawatirkan menembus angka psikologis 15 ribu. Pasar uang ramai dan pasar modal terimbas. Banyak yang mencemaskan atas pelemahan ini.

BI pun kemarin memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen. Keputusan itu merupakan respons BI terkait pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Keputusan ini berlaku efektif mulai Jumat, 29 Juni 2018," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers setelah rapat dewan gubernur di gedung BI, Jakarta, kemarin.

Selain menaikkan suku bunga acuan, BI juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 basis poin masing-masing menjadi 4,5 persen dan enam persen.

BI mencatat, nilai tukar rupiah pada Juni 2018 mendapat tekanan, terutama sejak pertengahan bulan. Hal itu dipicu penguatan dolar AS yang terjadi dalam skala global.

Rupiah sempat berada dalam tren menguat sampai pertengahan Juni 2018 hingga Rp 13.853 per dolar AS (6 Juni 2018) sebagai respons atas kebijakan pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve BI pada akhir Mei 2018.

Namun, perubahan stance kebijakan the Fed pada FOMC pertengahan Juni 2018 diikuti kebijakan bank sentral lain yang berubah memicu pelemahan hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah. Pada Kamis (28/6), rupiah tercatat di level Rp 14.390 per dolar AS.

Angka itu melemah 3,44 persen (ptp) dibandingkan level akhir Mei 2018. Sementara, dibandingkan dengan akhir Desember 2017, rupiah melemah 5,72 persen year to date (ytd).

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) di laman resmi BI, Jumat (29/6), rupiah berada di level Rp 14.404 per dolar AS. Sehari sebelumnya atau Kamis (28/6), rupiah di level Rp 14.271 per dolar AS.

Sementara di pasar uang, rupiah pada Jumat (29/6) pagi dibuka menguat 0,17 persen atau 24 poin ke level Rp 14.370 per dolar AS. Setelah BI mengumumkan menaikkan suku bunga acuan, rupiah kembali menguat ke posisi Rp 14.339 per dolar AS.

Perry menjelaskan, keputusan penaikan suku bunga acuan merupakan langkah lanjutan BI untuk secara pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik. Apalagi, ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi ditandai perubahan kebijakan moneter sejumlah negara.

Salah satu sumber ketidakpastian berasal dari Amerika Serikat (AS). Ini setelah Federal Open Market Committee Juni 2018 mengisyaratkan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Fed Funds Rate) hingga empat kali.

Ditambah lagi volatilitas imbal hasil surat utang AS masih tinggi. BI tidak menyebut adanya sumber pelemahan nilai tukar rupiah berdasarkan faktor dalam negeri, hanya faktor global.

Ketidakpastian global, lanjut Perry, juga dipicu langkah Bank Sentral Uni Eropa (ECB) yang menurunkan net pembelian aset, kebijakan Bank Sentral Cina (PBoC) yang menurunkan giro wajib minimum (GWM), kenaikan harga minyak dunia, serta peningkatan ketegangan hubungan dagang AS-Cina.

Ketidakpastian, menurut Perry, memicu penguatan mata uang dolar AS secara global dan memicu pembalikan modal dari negara berkembang. "Dengan begitu, memperlemah mata uang banyak negara, termasuk rupiah," katanya.

Dalam regional ASEAN, seluruh mata uang terimpit penguatan dolar AS. Namun, rupiah termasuk yang paling besar terkena dampaknya.

Perry menekankan, memerlukan respons kebijakan yang tepat untuk memelihara imbal hasil pasar keuangan di negara berkembang agar tetap menarik bagi investor. Selain menaikkan suku bunga, BI juga melakukan intervensi ganda di pasar valas dan di pasar surat berharga negara. Otoritas juga menjalankan strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas, khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antarbank.

Lebih lanjut, Perry meyakini, sejumlah kebijakan yang ditempuh dapat memperkuat stabilitas ekonomi, utamanya stabilitas nilai tukar rupiah. Ke depan, BI akan terus mencermati perkembangan dan prospek perekonomian domestik maupun global untuk memperkuat respons bauran kebijakan yang perlu ditempuh.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS memberikan banyak dampak. Pertama, terhadap beban utang luar negeri. Dengan pelemahan ini, besaran utang luar negeri baik swasta maupun pemerintah menjadi naik.

Ini menjadi berat bagi mereka yang harus membayar jatuh tempo bunga dan pokok utang. Apalagi, jika transaksi utang itu tidak dilandasi lindung nilai, dipastikan memberikan tekanan terhadap neraca keuangan mereka.

Kedua, pelemahan rupiah memberatkan industri yang bahan pembentuknya menggunakan barang-barang impor. Ketiga, pelemahan rupiah memberikan ekses besar terhadap impor minyak untuk pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri. Apalagi, di sisi lain, harga minyak dunia pun perlahan mulai naik

Pengamat ekonomi dari Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi mengatakan, penguatan rupiah terjadi setelah kenaikan suku bunga acuan BI. Sebab, rentang kenaikan jauh di atas ekspektasi pasar, yaitu 25 basis poin.

"Jadi, sementara, saya pikir langkah ini bisa meredam tekanan terhadap rupiah," kata Eric, Jumat (29/6).

Ia menambahkan, pelaku pasar juga menilai BI siap menggunakan instrumen suku bunga dan intervensi valas untuk menstabilkan rupiah.

Kepala Ekonom HSBC untuk negara-negara ASEAN, Joseph Incalcaterra, mengingatkan kenaikan suku bunga acuan BI dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal itu dipicu peningkatan suku bunga pinjaman.

"Tingkat bunga yang lebih tinggi akan berisiko," ujar Incalcaterra dilansir Nikkei Asian Review, kemarin.

Respons perbankan

Pejabat sejumlah bank besar di Tanah Air pun segera merespons langkah BI menaikkan suku bunga acuan. Apalagi, kenaikan itu merupakan yang ketiga dalam kurun waktu kurang dari dua bulan. Sebelumnya, BI 7-Day Repo Rate dinaikkan masing-masing 25 basis poin pada 17 Mei dan 30 Mei 2018.

"Kita akan mempelajarinya. Tentunya, kenaikan suku bunga acuan sebanyak satu persen dalam tiga bulan cukup ada dampak terhadap //cost of fund// (biaya dana)," ujar Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Santoso Liem, Jumat, (29/6).

Menurut dia, BCA memahami dasar-dasar kebijakan BI melakukan penyesuaian suku bunga acuan. Sebelumnya, BCA telah menaikkan suku bunga deposito untuk tenor satu bulan dan tiga bulan masing-masing menjadi 4,5 persen dan 4,8 persen. Sementara untuk untuk tenor enam bulan dan 12 bulan, suku bunga deposito masing-masing 4,9 persen.

PT Bank Tabungan Negara (BTN) (Persero) Tbk mengaku belum bisa menentukan apakah akan menaikkan suku bunga sebagai respons kebijakan BI. Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko mengatakan, pada rapat Asset and Liability Commitee (ALCO), Kamis (28/6), perseroan menunda penentuan suku bunga kredit.

Hanya saja, kata Iman, hasil keputusan RDG BI lebih //hawkish// (tinggi) dari dugaan. Dengan begitu, tim ALCO masih harus menyiapkan bahan untuk keputusan terbaru. Setelah itu, baru bisa ditentukan terkait perubahan suku bunga kredit maupun deposito.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement