REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebih dari 120.000 warga sipil telah terusir dari rumah mereka akibat serangan militer Suriah di bagian barat-daya negeri itu sejak aksi militer itu dilancarkan pada pekan lalu. Peringatan itu dilontarkan kelompok pemantau perang, Jumat (29/6).
Sementara itu, seorang pejabat senior PBB mengingatkan mengenai bencana yang timbul saat warga sipil tersebut terjebak di antara pihak yang berperang.
Pasukan pemerintah dan sekutu dilaporkan membuat kemajuan besar di Provinsi Deraa di Suriah Timur. Media negara melaporkan mereka berpawai di beberapa kota kecil. Seorang petinggi gerilyawan mengatakan garis depan oposisi telah ambruk.
Serangan dukungan Rusia tersebut telah menewaskan tak kurang dari 98 warga sipil, termasuk 19 anak kecil, sejak 19 Juni, kata Observatorium Suriah bagi Hak Asasi Manusia. Serangan itu juga telah membuat puluhan ribu orang terusir ke arah perbatasan dengan Jordania dan ribuan orang lagi mengungsi ke perbatasan dengan Dataran Tinggi Golan, yang diduduki Israel, kata kelompok pemantau yang berpusat di Inggris tersebut.
Pengungsi Suriah bersiap meninggalkan negaranya untuk mencapai Arsal, kota perbatasan Lebanon Kamis (28/6).
Israel dan Jordania--yang sudah menampung 650.000 pengungsi Suriah--menyatakan mereka takkan mengizinkan pengungsi datang lagi.
"Kami dibiarkan menghadapi pemboman, bom barel, (serangan udara oleh) Rusia dan pesawat tempur Suriah," kata Abu Khaled Al-Hariri (36), sebagaimana dikutip Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu pagi. Ia menyelamatkan diri dari Kota Kecil Al-harak menuju perbatasan Dataran Tinggi Golan bersama istri dan lima anaknya.
"Kami menunggu bantuan Tuhan. Kami memerlukan tenda, selimut, kasur, dan bantuan buat anak-anak kami untuk makan dan minum," katanya.
Komisariat Tinggi PBB Urusan Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al-Hussein mengatakan ada resiko besar karena banyak warga sipil terjebak di antara pasukan pemerintah dan kelompok gerilyawan ISIS yang memiliki kubu kecil di sana. Akibatnya akan berupa "bencana".
"Keprihatinan sesungguhnya ialah kita akan menyaksikan terulangnya apa yang kita saksikan di Ghouta Timur, yakni pertumpahan darah, penderitaan, warga sipil ditahan, di bawah pengepungan," kata wanita Juru Bicara Hak Asasi manusia PBB Liz Throssell.
Pasukan Pemerintah Suriah dengan dukungan kekuatan udara Rusia telah mengubah pusat serangan ke bagian barat-daya negeri itu. Kawasan tersebut yang dikuasai gerilyawan. Sebelumnya, mereka telah merebut kembali sisa daerah kantung terakhir yang terkepung, termasuk Ghouta Timur, di dekat Ibu Kota Suriah, Damaskus.
Sejauh ini, serangan ditujukan ke Deraa yang berdekatan dan dikuasai gerilyawan di perbatasan Dataran Tinggi Golan. Ini adalah daerah yang lebih sensitif buat Israel.
Aksi tersebut telah mengguncang kesepakatan "penurunan ketegangan" yang dirundingkan oleh Amerika Serikat, Rusia, dan Jordania dan kebanyakan telah mengekang pertempuran di bagian barat-daya Suriah sejak tahun lalu.