REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemimpin Arab Saudi berjanji kepada Presiden Amerika Serikat Donald, Trump bahwa ia akan meningkatkan produksi minyak jika diperlukan. Negara itu memiliki 2 juta barrel per hari dari kapasitas cadangan yang tersedia, demikian Gedung Putih pada Sabtu (30/6).
Trump mengatakan kepada Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud bahwa pasar minyak bisa berlebih pasokan ketika kedua pemimpin itu berbicara pada Jumat, kata Gedung Putih. Raja Saudi itu mengatakan ia bersedia menaikkan keluaran jika dibutuhkan, Gedung Putih mengatakan dalam satu pernyataan.
"Raja Salman menegaskan bahwa Kerajaan itu menyediakan kapasitas cadangan sebanyak dua juta barrel per hari, yang akan digunakan dengan hati-hati jika dan sewaktu-waktu perlu untuk menjamin keseimbangan pasar," demikian pernyataan tersebut.
Pernyataan Gedung Putih itu terkait dengan cuitan pada Sabtu yang dibuat Trump sebelumnya. Dia menulis bahwa Arab saudi telah setuju untuk memproduksi lebih banyak minyak.
"Barusan bicara dengan Raja Salman dari Arab saudi dan menjelaskan kepadanya bahwa, karena pergolakan dan disfungsi di Iran dan Venezuela, saya mmeminta Arab saudi meningkatkan produksi minyak, mungkin hingga 2.000.000 barrel, untuk membuat perbedaan harga naik! Dia setuju!" kata cuitan Trump.
Dalam cuitannya, Trump mengatakan minyak Saudi yang diproduksi ektra akan membantu mengatasi penurunan dalam pasokan dari Iran. Setelah Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian nuklir Iran pada Mei dan mengarah kepada pemberlakuan kembali sanksi-sanksi minyak.
Belum segera jelas apakah jumlah keseluruhan produksi saudi yang Trump harapkan atau kapan. Dari Dubai Reuters yang mengutip kantor berita IRNA melaporkan pada Sabtu, Iran sedang mempelajari cara-cara agar bisa mengekspor minyak dan langkah-langkah lain untuk mengatasi sanksi-sanksi ekonomi Amerika Serikat.
Sejak bulan lalu, ketika Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian nuklir yang mencabut sebagian besar sanksi-sanksi pada tahun 2015, nilai mata uang real telah jatuh hingga 40 persen. Hal ini menimbulkan protes-protes yang dilakukan oleh pedagang-pedagang yang biasanya setia kepada penguasa negara itu.
Berbicara setelah tiga hari protes-protes tersebut, pemimpin tertinggi Ayatullah Ali Khamenei mengatakan sanksi-sanksi AS bertujuan untuk mengubah rakyat Iran melawan pemerintah mereka. Pengunjuk-pengunjuk rasa lainnya bentrok dengan polisi Sabtu sore dalam demonstrasi akibat kekurangan air minum.
"Mereka melakukan tekanan ekonomi untuk memisahkan negara dari sistem tapi enam presiden sebelumnya sebelum dia (Trump) berusaha melakukan hal ini dan harus menyerah," kata Khamenei di lamannya Khamenei.ir.
Dengan pemberlakuan kembali sanksi-sanksi AS yang sepertinya untuk membuat negara itu sulit mengakses sistem keuangan global, Presiden Hassan Rouhani telah bertemu dengan ketua parlemen dan pengadilan untuk membahas langkah-langkah mengatasi sanksi-sanksi tersebut.
"Berbagai skenario ancaman terhadap ekonomi Iran oleh pemerintah AS dipelajari dan langkah-langkah tepat diambil untuk menghadapi kemungkinan sanksi-sanksi AS, dan mencegah dampak negatifnya," demikian IRNA.
Satu langkah yang akan diambil dengan mengusahakan efisiensi dalam produksi bensin, tambah laporan itu. Pemerintah dan parlemen juga membentuk sebuah komite untuk mempelajari pembeli potensial minyak dan cara-cara memperoleh pemasukan setelah sanksi-sanksi diberlakukan, kata IRNA yang mengutip Fereydoun Hassanvand, kepala komite energi parlemen.
"Karena kemungkinan ada sanksi-sanksi AS terhadap Iran, komite akan memperlajari kompetensi pembeli dan bagaimana memproses penjualan minyak, alternatif-alternatif penjualan aman yang konsisten dengan hukum internasional dan tidak mengarah kepada korupsi dan pencatutan," kata Hassanvand.
Amerika Serikat telah mengatakan kepada sekutu-sekutunya agar memutus semua impor minyak Iran mulai November, kata seorang pejabat senior dari Departemen Luar Negeri pada Selasa.