REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Energi, UGM, Fahmi Radhi menilai Pertamina harus menyiasati pemasaran gas tiga kilogram non subsidi oleh Pertamina. Hal ini agar tidak terjadi tumpang tindih penjualan gas dan bisa mengalokasikan gas subsidi sesuai tepat sasaran.
Fahmi menilai, Pertamina harus membedakan gas melon, subsidi, dengan gas pink, non-subsidi. Tak hanya dari tampilan, tetapi juga bagaimana mekanisme distribusi kedua gas ini. "Harus ada perbedaan dalam sistem distribusi antara keduanya," ujar Fahmi saat dihubungi Republika, Ahad (1/7).
Baca: 5.000 Tabung Elpiji Tiga Kilogram Nonsubsidi Diuji Pasar
Fahmi menjelaskan mekanisme distribusi tertutup dan terbuka mulai bisa diterapkan dengan adanya gas elpiji tiga kilogram non subsidi ini. Ia menjelaskan, gas elpiji non subsidi (berwarna merah muda) bisa didistribusikan dengan skema terbuka. Sedangkan gas melon (subsidi) didistribusikan dengan mekanisme tertutup.
"Salah satunya menggunakan kartu yang diberikan kepada masyarakat miskin, yang berhak menerima subsidi. Bisa dijadikan satu dengan kartu raskin," ujar Fahmi.
Mekanisme ini kata Fahmi akan efektif jika dibandingkan keduanya dilepas di pasar tanpa ada alokasi khusus. Ia mengatakan, konsumen rasional akan tetap menggunakan gas melon selama gas melon tersedia di pasar.
"Kalau keduanya menggunakan distribusi terbuka di pasar, maka peluncuran gas pink tidak akan efektif," ujar Fahmi.
Selain itu, kata Fahmi Pertamina tetap harus berkomitmen untuk menjaga pasokan gas elpiji tiga kilogram non subsidi. Ia mengatakan, jika Pertamina tidak menjaga pasokan maka akan berpotensi adanya kelangkaan. Akibatnya, harga gas melon bisa dibandrol mahal oleh pengecer di lapangan.
"Namun, untuk gas melon dan pink kualitas sama, hanya beda kemasan tidak akan mendorong konsumen migrasi dari melon ke pink, kecuali pasokan pink dikurangi. Dampaknya, rakyat miskin pengguna melon bebannya akan semakin berat," ujar Fahmi.