REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri tetap pada sikapnya terkait norma yang mengatur mantan narapidana korupsi maju menjadi calon anggota legislatif harus sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hal itu menyusul resmi diberlakukannya Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan yang memuat larangan mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislatif.
"Posisi Pemerintah kan sudah jelas waktu rapat dengar pendapat, posisinya itu bahwa pemerintah kan regulator bersama DPR apa yang sudah ada di UU Pemilu itu," ujar Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar saat dihubungi wartawan, Ahad (1/7).
Bahtiar mengatakan, begitu halnya sikap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas norma tersebut. Sekalipun KPU akhirnya memberlakukan resmi norma tersebut dalam PKPU. "Kan sudah jelas, Menteri Hukum dan HAM kan pemerintah, posisi Menkumham itu pasti sama dengan Mendagri. Karena sudah teknis pembentukan perundangan-undangannya ya posisinya Menkumham sama dengan Mendagri," ujar Bahtiar.
Bahtiar kembali menegaskan, Pemerintah mendukung langkah pemberantasan korupsi yang ingin memastikan calon anggota legislatif bersih dari korupsi. Namun demikian, harus tetap berpegang teguh pada aturan perundangan. Sementara di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak melarang mantan narapidana maju menjadi caleg dengan syarat harus mengumumkan permah menjadi narapidana korupsi.
"Jika diberi kesempatan pun belum tentu parpol mencalonkan (mantan napi korupsi) karna ada risiko-risiko politiknya kan kalau dia memajukan caleg mantan napi korupsi. Parpol kan bukan lembaga kecil tapi lembaga besar tentu melakukan perhitungan-perhitungan tertentu," ujar Bahtiar.
Justru pemberlakuan aturan tersebut kata Bahtiar, cenderung berujung terhadap sengketa yang panjang. Ini karena Bawaslu dan KPU memiliki pandangan berbeda terhadap norma tersebut. Khususnya, jika ada calon anggota legislatif yang dicoret oleh KPU karena norma tersebut.
"Kalau itu dilakukan itu ujungnya sengketa, kalau diberlakukan misal dicoret oleh KPU karena tidk sesuai dengan peraturan KPU nanti sengketa di Bawaslu, Bawaslu pasti coret lagi putusan KPU, karna Bawaslu akan berpegangan dalam UU. Artinya hanya memperpanjang proses saja," ujarnya.
Baca juga: KPU Resmi Berlakukan PKPU Larang Mantan Koruptor Nyaleg
Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memberlakukan aturan larangan pencalonan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi. Aturan itu sudah resmi diterapkan dalam pencalonan caleg untuk Pemilu 2019 mendatang. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, Sabtu (30/6) sore.
Aturan itu akhirnya resmi menjadi PKPU Nomor 20 Tahun 2018, perihal Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan pantauan di laman JDIH KPU, aturan tersebut sudah diunggah sejak Sabtu sore dan dapat diunduh oleh masyarakat umum.
Pramono menegaskan, PKPU ini sudah bisa dijadikan pedoman dalam pendaftaran caleg mulai 4 Juli mendatang. Dia menambahkan, aturan larangan mantan narapidana kasus korupsi juga tetap masuk dalam PKPU Nomor 20. "Soal itu, berkali-kali kami tegaskan, KPU tidak pernah berubah mengenai hal (larangan) itu," tegasnya.
Adapun larangan itu ada dalam pasal 7 ayat 1 huruf (h) yang berbunyi 'Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten kota harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi'.
Baca juga: PAN Dorong Pihak yang tak Setuju dengan PKPU Gugat ke MA