REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron menyampaikan kritik soal terbitnya surat edaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertanggal 30 Juni 2018. Surat edaran ini berkaitan dengan daftar rumah sakit terakreditasi KPU yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Peraturan KPU tentang syarat pendaftaran calon legislatif.
"Ini bagi saya belum cukup penjelasan dan memiliki alasan yang kuat,” kata dia dalam keterangan tertulis, Ahad (1/7).
Ia mengatakan ada beberapa hal yang perlu dijelaskan dengan gamblang. Misalnya, ia mempertanyakan, apakah surat edaran ini tidak mengakui keberadaan rumah sakit pemerintah lainnya.
Herman juga mempertanyakan apakah itu berarti rumah sakit di luar daftar akreditasi KPU itu tidak layak sebagai lembaga kesehatan yang selama ini melayani rakyat. Termasuk Rumah Sakit Gatot Subroto dan RS Polri yang tidak masuk dalam daftar itu.
“Bagi saya penuh tanda tanya dan tidak paham dengan keputusan KPU ini," kata dia.
Menurut wakil komandan Kogasma Partai Demokrat itu, penerbitan surat edaran juga terlambat. Sebab, ia mengatakan, sebagian besar caleg sudah memproses surat keterangan sehat jasmani, surat keterangan sehat rohani, dan surat keterangan bebas narkoba di luar daftar rumah sakit terakreditasi KPU. "Serta sudah mendaftar di partainya masing-masing," tutur dia.
Karena itu, Herman menilai peraturan tersebut diskriminatif, kurang tepat, dan membuat stigma negatif untuk rumah sakit pemerintah lainnya. Bagi caleg, akses terhadap rumah sakit terakreditasi KPU semakin jauh.
Padahal, masih banyak persyaratan lain yang mesti diselesaikan. "Kalaupun dasar pemikirnnya agar hasil tes kesehatan berkualitas, semestinya masih banyak Rumah Sakit Swasta juga bisa dipakai rujukan KPU," kata dia.
Herman juga berpendapat, sebaiknya aturan itu dikembalikan kepada peraturan sebelumnya. Ia menyebutkan, KPU cukup mengatur tes kesehatan jasmani dan rohani, dan tes bebas narkoba caleg dilakukan di rumah sakit milik pemerintah.
Tokh, ia mengatakan, pileg sebelumnya dan pilkada serentak pun juga menggunakan aturan itu. "Jadi atas argumentasi tersebut, sebaiknya surat edaran tersebut dicabut dan dibatalkan dan kembali kepada peraturan sebelumnya," ujar Herman.