REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fauziah Mursid, Dian Erika Nugraheny
Pemberlakuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD yang salah satu isinya melarang mantan narapidana kasus korupsi ikut serta pencalonan anggota legislatif masih dipersoalkan sejumlah pihak. Pemerintah belum menganggap regulasi itu berlaku secara mutlak.
Kementerian Dalam Negeri tetap pada sikapnya bahwa PKPU harus sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. "Posisi pemerintah sudah jelas bersama DPR seperti apa yang sudah ada di UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017—Red) itu," ujar Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, Ahad (1/7).
Bahtiar menegaskan pemerintah mendukung langkah pemberantasan korupsi yang ingin memastikan calon anggota legislatif bersih dari korupsi. Namun, mereka berkeras menilai langkah itu harus tetap berpegang teguh pada aturan perundangan.
Rencana KPU melarang mantan napi korupsi mencalonkan diri dalam pemilu legislatif sudah beredar sejak awal tahun ini. KPU berdalih hal tersebut penting dilakukan untuk mencegah tindak pidana korupsi oleh anggota legislatif pusat maupun daerah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejauh ini mencatat, anggota dewan adalah kelompok yang paling kerap kedapatan melakukan pidana tersebut, baik dalam bentuk gratifikasi maupun pembengkakan anggaran dalam pembahasan. Pihak partai politik di DPR telah secara terbuka menyatakan penolakan terhadap larangan tersebut.
Bagaimanapun, larangan tersebut akhirnya resmi berlaku melalui PKPU Nomor 20/2018 mulai Sabtu (30/6). Aturan itu akan diterapkan menjelang pendaftaran kandidat caleg pada 4 hingga 17 Juli nanti. Adapun larangan itu ada dalam pasal 7 ayat 1 huruf (h) yang berbunyi, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten kota harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.”
Di sisi lain, UU Pemilu tidak melarang mantan narapidana maju menjadi caleg dengan syarat harus mengumumkan pernah menjadi narapidana korupsi. "Jika diberi kesempatan pun belum tentu parpol mencalonkan (mantan napi korupsi) karena ada risiko-risiko politiknya," ungkap Bahtiar.
Pemberlakuan aturan tersebut, kata Bahtiar, cenderung berujung pada sengketa yang panjang. Terlebih, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KPU memiliki pandangan berbeda terhadap norma tersebut, khususnya jika ada calon anggota legislatif yang dicoret oleh KPU karena PKPU bersangkutan.
Pihak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga terkesan masih menganggap pemberlakuan PKPU Nomor 20/2018 bermasalah. "Kami akan lakukan koordinasi terus dengan KPU, Bawaslu, dan Kemendagri serta kementerian dan lembaga terkait. Kami semua sudah sepakat untuk mencarikan jalan keluar yang terbaik,\" kata Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana, kemarin.
Menurut dia, Kemenkumham, KPU, dan Bawaslu juga telah membahas masalah tersebut pada Jumat (29/6) sore. Namun, Widodo enggan membeberkan lebih lanjut hasil pertemuan itu karena menilai itu sudah termasuk kewenangan penyelenggara pemilu.
Pemberlakuan larangan mantan napi korupsi mencalonkan diri dikonfirmasi oleh Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi, Sabtu (30/6) sore. "Dengan demikian, aturan itu sudah bisa dijadikan pedoman dan sudah pasti diterapkan dalam Pemilu 2019," kata Pramono.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tetap pada sikapnya tidak menyetujui aturan larangan pencalonan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi melalui Peraturan KPU. Hai itu disampaikan Anggota Badan Pengawas Pemilu Ratna Dewi Pettalolo menanggapi KPU yang resmi memberlakukan aturan larangan tersebut dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Ratna menegaskan, sebagai penyelengara Pemilu, Bawaslu juga memiliki semangat untuk melahirkan wakil rakyat yang bersih, bebas dari koruptor. Kendati demikian, semangat tersebut tentu harus diwujudkan dengan tetap berpegang pada peraturan perundangan.