REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel menyatakan hanya mengizinkan pasukan rezim pemerintahan Suriah Bashar al-Assad berada di sepanjang perbatasan antara Israel dan wilayah Suriah yang dilanda perang. Laporan ini berdasarkan surat kabar Israel Haaretz, Ahad (1/7) waktu setempat.
Dilansir Anadolu Agency, Ahad (1/7), surat kabar tersebut menyatakan bahwa Israel telah menyampaikan pesan melalui AS dan Rusia. Pesan itu menyatakan, pasukan rezim Bashar al-Assad dimungkinkan untuk memasuki daerah perbatasan utara Israel. Namun, Israel tidak akan mentoleransi penyebaran pasukan Iran dan pejuang kelompok Hizbullah Libanon di area tersebut.
Pesan-pesan itu disampaikan selama pertemuan yang dilakukan baru-baru ini antara Kepala Staf Israel Letnan Jenderal Gadi Eisenkot dan Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Joseph Dunford di Washington. Menurut harian Haaretz itu, Israel berharap perjanjian gencatan senjata 1974 dengan Suriah akan ditegakkan.
Tak hanya itu, Israel juga berharap adanya zona demiliterisasi di sepanjang perbatasannya untuk tetap bebas dari kekuatan militer dan persenjataan berat. Jumat (29/6) kemarin, Dewan Keamanan PBB memperbarui misinya selama enam bulan untuk mengamati gencatan senjata di Dataran Tinggi Golan. PBB juga menyerukan kelompok-kelompok bersenjata untuk meninggalkan daerah yang memisahkan pasukan Suriah dan Israel.
Dataran tinggi Golan Suriah diduduki Israel selama perang Timur Tengah 1967. Peringatan Israel datang ketika pasukan rezim Suriah dan sekutu milisi didorong maju dengan serangan militer besar di Provinsi Daraa yang dikuasai oposisi di barat daya Suriah.
Setidaknya 97 warga sipil dilaporkan tewas dan ribuan orang mengungsi sejak serangan rezim Suriah dimulai dua pekan lalu. Setelah pembicaraan damai yang diadakan tahun lalu di ibukota Kazakhstan, Astana, Daraa ditetapkan sebagai "zona deeskalasi" di mana tindakan agresi secara tegas dilarang.