REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengacara keluarga Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan, meminta persidangan membuka secara detail isi audit BPK tertanggal 31 Mei 2002 tentang perjanjian induk/MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Sjamsul Nursalim adalah pemegang saham BDNI.
Menurut Otto, dalam persidangan mantan ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin A Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/6), para saksi memberikan keterangan terkait adanya audit BPK tertanggal 31 Mei 2002 yang menyatakan MSAA-BDNI telah selesai (final closing).
Audit BPK itulah yang kemudian dijadikan landasan oleh terdakwa saat menjabat sebagai ketua BPPN dalam memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim pada 2004 silam.
Berdasarkan penelusuran terhadap audit BPK yang dimaksud, ternyata BPK pada tanggal 31 Mei 2002 telah menerbitkan Laporan Audit Investigasi atas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) PT Bank Dagang Nasional (BBO).
“Karena itu, sudah sepantasnya dalam persidangan dibuka secara detail isi dari audit BPK tertanggal 31 Mei 2002 tersebut,” kata Otto dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Senin (2/7).
Otto melanjutkan, audit investigasi tersebut dibuat BPK atas permintaan DPR. Dalam dokumen tersebut, BPK menyatakan, berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, BPK berpendapat PKPS BDNI telah closing pada 25 Mei 1999, mengingat pemegang saham BDNI dan BPPN telah menyepakati syarat utama closing, yaitu pembayaran suatu jumlah setara dengan Rp 1 triliun serta syarat-syarat lainnya, seperti antara lain pendirian holding company (PT TSI), transfer aset melalui pembuatan Transfer Shares Agreement yang disertai Deed of Transfer kepada PT TSI, penerbitan escrow account, serta penerbitan Promissory Note oleh PT TSI kepada BPPN telah dilaksanakan.
Dalam audit investigasi tersebut, kata Otto, BPK juga menegaskan dengan adanya Surat Pernyataan (Letter of Statement) yang dibuat antara BPPN dan pemegang saham BDNI pada 25 Mei 1999 di hadapan notaris Merryana Suryana, BPPN menyatakan bahwa transaksi-transaksi yang tertera dalam MSAA telah dilaksanakan oleh Sjamsul Nursalim.
Sedangkan mengenai verifikasi dan klarifikasi terhadap set off group deposit dan pembayaran pesangon karyawan BDNI dengan pembayaran suatu yang setara dengan Rp 1 triliun, serta masalah crossing atau balik nama saham perusahaan akuisisi, semata-mata merupakan masalah administratif yang seharusnya tidak secara signifikan menghambat closing MSAA-BDNI tanggal 25 Mei 1999.
Mengutip laporan audit BPK tersebut, Otto menegaskan, pernyataan BPK selaras dengan ketentuan Pasal 7.9 MSAA yang mengatur Post Closing Cooperation dengen ketentuan penyempurnaan pengalihan saham dapat diakukan setelah closing.
Dia juga mengungkapkan, BPK dalam auditnya juga menyatakan BPPN tidak konsisten dalam menyikapi masalah pemenuhan kewajiban yang telah dilaksanakan oleh pemegang saham, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai closing date.
Dijelaskan Otto, dalam audit investigasi BPK 2002 terungkap jaksa agung mengetahui rencana penyelesaian di luar pengadilan sebagaimana terlihat dari surat Jaksa Agung kepada Presiden Republik Indonesia No. R.192/A/G11/9/1998 tertanggal 23 September 1998 perihal Laporan Akhir Hasil Kegiatan Non Litigasi terhadap 14 Bank Bermasalah (BBO/BTO), termasuk BDNI, oleh Tim Kejaksaan dan BPPN.
Dalam surat tersebut, jaksa agung menyatakan perlu adanya kearifan dan kebijaksanaan pemerintah dengan memperhatikan situasi moneter dan perekonomian nasional saat itu yang menyebabkan debitur tidak mungkin menyelesaikan pembayaran atau pengembalian secara tunai. Penilaian aset yang diserahkan juga diminta ditangani secara arif dan bijaksana sehingga dapat dihindari tindakan yang tidak menguntungkan perekonomian nasional.
Selain itu, diungkapkan pula bahwa dalam Rapat Koordinasi Bidang Pengawasan Pembangunan tertanggal 21 Agustus 1998 memutuskan penyelesaian kewajiban pemegang saham BBO/BTO dilakukan melalui jalur komersial atau di luar pengadilan, keputusan tersebut diambil setelah mendengar penjelasan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara Suhanjono yang antara lain menyatakan proses hukum atas dugaan pelanggaran BMPK akan berjalan lama dan tidak jelas tingkat pengembalian komersialnya.
Dalam dokumen audit tersebut juga terungkap, finansial advisor BPPN melalui memo tertanggal 15 Maret 1999 kepada ketua BPPN menyatakan bahwa saldo kredit kepada petani tambak udang sebesar Rp 4,8 triliun dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmaja melalui pola Tambak Inti Rakyat (TIR) khusus yang didukung oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dan bank-bank lain yang ditunjuk.
Disampaikan dalam memo tersebut, kredit kepada petani tambak dikategorikan sebagai kredit tidak terkait karena kekhususannya, yaitu bahwa kredit tersebut diberikan kepada petani plasma yang merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka pemberdayaan petani tambak dengan komponen pond buy back sebagai jaminan.