Selasa 03 Jul 2018 13:39 WIB

Alasan KPK Yakin Keterangan Saksi Perkuat Dakwaan Kasus BLBI

Syafruddin Arsyad Temenggunga jadi terdakwa pertama dari kasus BLBI yang disidik KPK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (2/7) di Pengadilan Tipikor Jakarta mengajukan bukti bahwa ada aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) merupakan kredit macet dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK berharap persidangan kasus BLBI berjalan dengan adil.

"Pada Senin, 2 Juli 2018, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jaksa KPK telah mengajukan sejumlah saksi penting dari pejabat BPPN, seperti Raden Eko Santoso Budianto; Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio; Dira K Mochtar; Thomas Maria," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Selasa (3/7).

Dalam fakta persidangan, keterangan saksi-saksi semakin memperkuat pembuktian dakwaan KPK kepada terdakwa kasus BLBI, mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsjad Temenggung (SAT). Para saksi menerangkan bahwa kewajiban Sjamsul Nursalim  belum  final closing, artinya Sjamsul Nursalim belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diatur Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).

Sedangkan, terkait penyerahan aset dari bank BDNI terdapat aset berupa utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun yang saat diserahkan kepada BPPN dalam kondisi macet. Setelah dilakukan audit financial due diligence dan legal due diligence terhadap aset tersebut, atas kondisi tersebut BPPN mengambil langkah penyelesaian dengan mengajukan konsep restrukturisasi yang diajukan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) sehingga menghasilkan 2 keputusan KKSK tertanggal 27 April 2000 dan 29 Maret 2001.

Namun, karena pihak debitur PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wahyuni Mandira menolak, maka dua SK tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dua debitur ini merupakan perusahaan di mana Sjamsul Nursalim merupakan pemegang saham pengendali.

Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang diserahkan kepada BPPN oleh Sjamsul Nursalim untuk memenuhi kewajibannya. Sehingga atas penolakan tersebut akhirnya BPPN menggolongkan PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wahyuni Mandira sebagai debitur yang tidak kooperatif dan menyerahkan penanganannya ke pihak legal litigasi BPPN.

Dalam persidangan juga terungkap fakta dalam rangka sosialisasi SK KKSK 27 April 2000 di depan petambak udang di lampung terdakwa SAT, yang saat itu menjabat sebagai sekertaris KKSK menyampaikan bahwa hutang petambak maksimal adalah sebesar Rp 100 Juta, padahal di dalam SK KKSK 27 April 2000 ditetapkan jumlah utang petambak masing-masing sebesar Rp 135 juta.

Atas penyampaian terdakwa tersebut, saksi Dira K Mochtar mengingatkan, bahwa jumlah utang masing-masing petambak adalah sebesar Rp 135 juta dan bukannya Rp 100 juta sebagaimana disampaikan terdakwa. Namun, terdakwa saat itu menyampaikan hal itu nanti akan dibahas dalam forum rapat KKSK.

Akhirnya, SK KKSK tanggal 29 Maret 2001 menyatakan jumlah utang petambak masing-masing adalah sebesar Rp 100 Juta sebagaimana yang diusulkan terdakwa. Selain itu, ditemukan fakta bahwa ada beberapa petambak udang tidak mengetahui jumlah utang kepada BDNI karena yang menerima uang adalah PT DCD dan PT WM yang juga milik SN.

"Dari keterangan ini, semakin diyakini bahwa terdakwa SAT sejak awal, bahkan ketika menjadi Sekretaris KKSK diduga telah berupaya mengurangi kewajiban Sjamsul Nursalim dari Rp 135juta menjadi Rp 100 juta per orang," tutur Febri.

Untuk semakin memperkuat dan kepentingan proses pembuktian kasus BLBI ini, sidang selanjutnya akan dilakukan Kamis (5/7), saksi yang akn dihadirkan diantaranya Kwik Kian Gie; Edwin Gerungan; Rizal Ramli; I Putu Gede Ary Suta dan lainnya.

BPK sebagai lembaga negara yang telah melakukan perhitungan kerugian keuangan negara menyimpulkan bahwa ada kerugian negara Rp 4,58 triliun. BPK merupakan institusi yang kredibel dan berwenang untuk menghitung kerugian negara tersebut.

"KPK membaca ada pendapat dari sejumlah pihak yang mencoba membentuk wacana seolah-seolah audit BPK yang menghitung kerugian negara saat ini dapat batal demi hukum. Hal tersebut sangat kami sayangkan. Kami percaya Hakim akan mempertimbangkan dengan adil karena kasus BLBI ini termasuk salah satu kasus dugaan korupsi yang sangat merugikan bangsa ini," ujar Febri.

Terdakwa, Syafruddin Arsyad Temenggung saat membacakan eksepsinya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, 21 Mei lalu, mengkritik atas audit investigatif Badap Pemeriksa Keuangan (BPK). Ia menilai audit BPK menyimpang dari ketentuan yang ada.

“Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26,” ujar Syafruddin dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (21/5).

Dalam peraturan tersebut dinyatakan, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa atau yang bertanggung jawab dan harus menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan dari pihak yang diperiksa. Laporan Audit Investigatif BPK 2017 itu, menurut dia, tidak ada satu pun pihak yang diperiksa.

“Ditambah lagi data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder berupa bukti-bukti yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement