Selasa 03 Jul 2018 15:35 WIB

Sisi Positif dari Kemenangan Kolom Kosong Menurut Pengamat

Pemilih semakin dewasa dengan tidak menerima begitu saja paslon yang diusung parpol.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Andri Saubani
Sejumlah tenaga relawan menyortir kertas suara Pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, di kantor KPU Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (13/6).
Foto: Antara/Darwin Fatir
Sejumlah tenaga relawan menyortir kertas suara Pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, di kantor KPU Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (13/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J. Vermonte melihat, fenomena kemenangan kolom kosong atas pasangan calon (paslon) tunggal di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Makassar memiliki sisi positif. Hasil ini menunjukkan, pemilih semakin dewasa dengan tidak menerima begitu saja paslon yang diajukan partai.

Keadaan terjadinya calon tunggal pun bukan tanpa sebab. Philip menjelaskan, kondisi ini terhadi karena ada persoalan politik yang membuat calon lain tidak dapat maju.

Termasuk, di antaranya karena partai politik yang tidak dapat menangkan aspirasi masyarakat. "Partai sudah harus sadar, ini era baru di mana aspirasi masyarakat lebih penting dari suara partai," tutur Philip dalam diskusi media Evaluasi Pilkada Serentak 2018 di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (2/7).

Philip tidak menampik bahwa penggunaan politik  identitas dan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) masih lumrah terjadi pada Pilkada Serentak 2018. Sebab, masyarakat di tingkat daerah merasa kesulitan dalam menilai secara rasional terkait rekam jejak paslon. Tidak hanya menilai tiap sosok paslon, mereka juga harus memperhatikan kekurangan dan kelebihan partai pengusung maupun koalisinya.

Philip melihat penilaian yang berlapis-lapis ini sebagai kerumitan sistem pemilu dan multipartai di Indonesia. Karena sulit, tidak heran apabila faktor identitas SARA menjadi faktor yang banyak dipilih pemilih untuk menilai paslon.

"Soalnya ini faktor yang mudah dilihat masyarakat untuk mengidentifikasi atau dijadikan sebagai tolak ukur," ucap ketua umum perhimpunan survei opini publik Indonesia itu.

photo
Paslon Melawan Kolom Kosong di Pilkada

Peneliti dari Populi Center, Nona Evita menjelaskan, pencitraan agama ini masih kuat terasa dalam pilkada di daerah Jawa. Di Jawa Barat, Uu Ruzhanul yang merupakan politikus dari PPP unggul sebagai wakil dari Ridwan Kamil. Tren ini tidak terlepas juga dari kemenangan Khofifah Indra dalam Pilgub Jawa Timur.

Nona menuturkan, pencitraan agama paling terasa di Jawa Timur. Yakni, ketika PKB menyatakan dukungannya terhadap paslon Gus Ipul-Puti, tapi suara sejumlah kyai justru condong ke Khafifah.

"Ini dikarenakan Khofifah-Emil membuat program yang memang dekat ke pesantren. Jadi, belum tentu paslon yang diusung oleh PKB atau suatu partai akan mendapat dukungan dari pemuka agamanya," tutur Nona.

Tetapi, Nona menilai, pemilih di Indonesia sudah semakin cerdas dan dewasa. Tren ini terlihat dari fenomena Pilkada Kota Makassar, di mana paslon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong. Nona melihat, dengan kemenangan kotak kosong, masyarakat semakin ingin terlibat dalam proses demokrasi dengan menggunakan hak suaranya.

Apabila fenomena paslon tunggal ini terjadi pada lima hingga 10 tahun lalu, Nona memprediksi kondisinya akan berbeda. Masyarakat enggan datang ke TPS dan memutuskan untuk golput.

"Tapi, saat ini, mereka lebih mau memilih, menyampaikan aspirasinya. Ini bukti bahwa bentuk partisipasi sudah meningkat," ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement