Rabu 04 Jul 2018 00:49 WIB

Parpol Dukung PKPU Berpotensi Tingkatkan Elektabilitas

Masyarakat melihat banyak figur bersih yang dapat diusung sebagai caleg.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Indira Rezkisari
Gedung DPR
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Gedung DPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno melihat, ada pengaruh antara sikap partai politik terhadap Peraturan KPU terbaru dengan elektabilitas. Idealnya, partai yang mendukung peraturan terkait pelarangan eks narapidana menjadi calon legislatif (caleg) ini akan meningkatkan elektabilitas serta popularitas mereka.

Bagi partai yang secara tegas menolak mantan narapidana maju ke Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, perlu diberikan sebuah penghargaan. Sebaliknya, partai yang mendukung, cenderung mendapat 'hukuman' berupa berkurangnya dukungan masyarakat terhadap mereka. "Sebab, secara moral sudah cacat. Ini tidak baik untuk demokrasi," ujar Adi ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (3/7).

Adi menambahkan, keterkaitan antara sikap partai politik terhadap PKPU dengan elektabiltas mereka bukan tanpa sebab. Indonesia merupakan sebuah negara yang besar. Masyarakat melihat, banyak figur hebat dan bersih yang seharusnya dapat diusung maju menjadi caleg untuk mewakili suara mereka di parlemen.

Dengan memilih calon narapidana menjadi perwakilan, masyarakat tentu akan memiliki penilaian negatif. Adi menuturkan, partai jangan memotong kompas dengan tidak peduli rekam jejak caleg yang diusung hanya karena ingin menang. "Sebab, baik buruknya dewan kita ke depan sangat tergantung bagaimana partai merekrut elitnya," ucap direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia tersebut.

Adi menambahkan, partai pendukung PKPU ini harus mampu mengonversi sikap politiknya sebagai insentif elektoral. Mereka sebaiknya menetapkan posisi sebagai partai yang memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. Sikap ini bisa dijadikan sebagai isu utama, terlebih demokrasi dan civil society Indonesia sudah maju, sehingga caleg yang diusung harus benar-benar bersih rekam jejaknya.

Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Alfitra Salamm menjelaskan, keputusan KPU untuk menetapkan PKPU merupakan sebuah bukti semangat pemerintah dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. "Jika tidak (disahkan), dikhawatirkan akan memperburuk citra pemerintahan karena 'mengizinkan' seorang koruptor duduk di dalam pemerintahan," ucapnya dalam diskusi media bertajuk Evaluasi Pilkada Serentak 2018 di Hotel Atlet Century, Senayan, Senin (2/7).

Di sisi lain, peraturan ini juga menimbulkan pertanyaan dan permasalahan dari sisi legalitas. Berdasarkan pandangan hukum, mantan koruptor adalah seseorang yang sudah melaksanakan hukuman atas tindakan pidananya terdahulu. Terlepas dari pro kontra ini, Alfitra mewakili AIPI menghargai semangat pemerintah dalam menciptakan clean goverment.

Proses pendaftaran calon legislatif (caleg) untuk Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 akan dimulai pada Rabu (4/7). Alfitra mengatakan, sejumlah partai politik termasuk Golkar sudah mengeluarkan statement terkait komitmennya mematuhi PKPU ini. "Semoga, partai-partai lain dapat mengikuti dan patuh juga," tuturnya.

Mantan narapidana kasus korupsi resmi dilarang ikut pemilihan legislatif DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota 2019. Larangan tersebut diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Peraturan tersebut sudah ditandatangani pada Sabtu (30/6) dan dipublikasikan di situs resmi KPU.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement