Rabu 04 Jul 2018 13:46 WIB

KPK Percaya Presiden tak Lemahkan Pemberantasan Korupsi

Presiden Joko Widodo akan menemui pimpinan KPK pada siang ini.

 Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan lembaganya percaya bahwa Presiden RI Joko Widodo memiliki perhatian agar pemberantasan korupsi tidak dilemahkan. Presiden Joko Widodo akan menemui pimpinan KPK di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (4/7) sekitar pukul 14.00 WIB.

Pertemuan itu untuk membicarakan masuknya tindak pidana korupsi (tipikor) ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). "KPK berharap pertemuan siang ini akan memberikan titik terang bagaimana nasib pemberantasan korupsi ke depan. Saya percaya Presiden memiliki concern agar KPK dan pemberantasan korupsi tidak dilemahkan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Menurut Febri, dimasukkannya pasal-pasak korupsi ke KUHP dipandang tidak memiliki manfaat untuk pemberantasan korupsi. "Bahkan, justru sangat berisiko melemahkan KPK dan kerja-kerja penanganan kasus korupsi," ucap Febri.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan DPR akan mengetujui untuk pengesahan RUU KUHP pada tanggal 17 Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan Indonesia. Menurut KPK, setidaknya ada 10 hal mengapa RKUHP berisiko bagi KPK dan pemberantasan korupsi.

Pertama, kewenangan kelembagaaan KPK tidak ditegaskan dalam RUU KUHP;

Kedua, KPK tidak dapat menangani aturan baru dari United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), seperti menangani korupsi sektor swasta; 

Ketiga, RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti;

Keempat, RUU KUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif; 

Kelima, RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi; 

Keenam, beberapa tindak pidana korupsi dari UU Pemberantasan Tipikor masuk menjadi tindak pidana umum;

Ketujuh, UU Pemberantasan Tipikor menjadi lebih mudah direvisi; 

Kedelapan, kodifikasi RUU KUHP tidak berhasil menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab undang-undang; 

Kesembilan, terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi; 

Kesepuluh, tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan hal-hal yang telah diatur undang-undang khusus ke dalam RUU KUHP.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement