REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di ruang Garuda, Istana Kepresidenan, Bogor, Rabu (4/7). Sementara dari pihak pemerintah hadir Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Usai melakukan pertemuan, Ketua Umum KPK Agus Rahardjo mengatakan, pihaknya menyamaikan mengenai konsen lembaga ini terkait dengan rancangan undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KPK pun mengusulkan agar delik korupsi tetap diatur di luar KUHP.
"Karena ya kami, saya sampaikan mengenai risiko yang besar. Kemudian insentifnya tidak kelihatan untuk pemberantasan korupsi," ujar Agus usai bertemu Presiden Jokowi, Rabu (4/7).
Agus menuturkan, KPK masih akan mengakaji dan mempersiapkan bahan untuk ditampung kembali oleh pemerintah terkait dengan aturan yang mengatur kewenangan KPK. Di mana berbagai masukan dari KPK diharap bisa ditampung dan tidak ada lagi keberatan dari pemerintah.
Dengan menanti masukan terkait RKUPH dari berbagai pihak termasuk dari KPK, maka Presiden Jokowi telah mengintruksikan kepada para menteri agar deadline RKUHP tidak ada. "Tidak ada deadline-ya. Jadi yang tanggal 17 Agustus (2018) itu tidak ada," ujar Agus.
Wakil Pimpinan KPK Laode M Syarif menuturkan, tidak adanya deadline dalam mengesahkan RKUHP ini bukan sekadar adanya berkaitan dengan KPK, tapi juga banyak pilihan yang menjadi pertimbangan. Selain delik korupsi, delik narkoba, teroris, dan HAM juga dirasa akan lebih baik ketika berada di luar KUHP.
"Jadi kalau sebenarnya itu dikeluarkan dari RKUHP ini bisa cepat segera ini kodifikasinya. Nah seperti itu. Oleh karena itu tim pemerintah akan mempelajarinya lagi lebih intens," ujar Laode.
Wakil Pimpinan KPK lainnya, Saut Situmorang menuturkan bahwa selama ini KPK dan pemerintah pun duduk bersama membahas berbagai hal termasuk dalam RKUHP. Ini penting karena KPK perlu memberikan masukan khsusunya terkait tugas lembaga antirasuah ini.
Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo mengatakan akan memberikan kado indah berupa pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP, saat HUT RI ke-73, pada 17 Agustus mendatang. Bamsoet, sapaan akrabnya, mengatakan mengatakan RKUHP yang akan disahkan nantinya menjadi undang-undang hukum pidana yang baru milik Indonesia.
Pembaruan KUHP ini sudah menjadi prioritas sejak lama. Namun, tidak selesai dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu. Undang-undang dengan jumlah pasal terbanyak (lebih dari 600 pasal) itu terpaksa harus dibahas kembali dari awal oleh anggota DPR periode 2014-2019 karena sistem DPR tidak mengenal warisan.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/inline/180704163052-579.jpg)
Alasan KPK Tolak Revisi KUHP