REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Betapa pemurahnya hati Sa’ad bin Arrabil al-Lausary, seorang hartawan di Madinah. Semenjak kaum Muhajirin dipersaudarakan dengan kaum Anshar yang baru datang dari Makkah, Sa’ad sebagai orang Anshar dipersaudarakan Rasulullah SAW dengan Abdurrahman bin Auf. Saudara seimannya itu benar-benar ia anggap layaknya saudara kandung.
“Wahai Abdurrahman, hartaku akan kubagi dua, separuhnya untukmu. Aku juga ada beberapa orang istri. Pilihlah olehmu mana yang kamu sukai, nanti akan kuceraikan dan kamu bisa menikahinya,” ungkap Sa’ad kepada Abdurrahman seperti dikisahkan dalam kitab Bidayah Wan Nihayah karya Ibnu Katsir.
Lantas, bagaimana reaksi Abdurrah man bin Auf mendapat tawaran luar biasa itu? Secara umum, para sahabat yang ikut hijrah bersama Rasulullah ke Madinah berada dalam kondisi ekonomi sangat lemah. Banyak di antara mereka yang hanya memiliki seutas baju di badan. Jangankan tempat tinggal, ma kanan untuk dimakan pun tiada.
Namun, kondisi itu tidak membuat mereka menjadi manja dan lantas bergantung pada orang lain. Seperti halnya Abdurrahman bin Auf. Perjalanannya hijrah ke Madinah benar-benar dalam kondisi tertindas. Kendati demikian, tawaran Sa’ad ditolaknya secara halus. Walau ia dan Sa’ad sudah menjadi saudara, ia tidak lantas menggantungkan hidup kepada Sa’ad.
“Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu, wahai Sa’ad. Cukup tunjukkan saja padaku di mana lokasi pasar dan pusat perdagangan di Madinah ini,” tutur Abdurrahman menjawab tawaran Sa’ad. Saudaranya itu pun menunjukkan sebuah Pasar Bani Qainuqa yang ada di Madinah.
Semenjak itu, Abdurrahman merintis usaha barunya dengan berjualan jubna (keju) dan minyak samin. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan keuntungan berjualannya. Hingga akhirnya, Abdurrahman pun menjelma menjadi seorang saudagar kaya di Madinah.
Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia lebih suka berdikari dan mandiri tanpa membebani orang lain. Dengan kemandiriannya, Abdurrahman bin Auf dijuluki dengan Sahabat Bertangan Emas. Saking berlimpahnya rezeki Abdurrahman, diibaratkan, “Seandainya Abdurrahman membongkar sebongkah batu maka di bawahnya terdapat emas dan perak.”
Allah SWT sangat menyukai hamba-Nya yang mau bekerja keras mencari nafkah dari yang halal. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu makanan yang baik daripada apa yang dihasilkan dari usahanya sendiri. Nabi Daud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari).
Allah SWT merahmati mereka yang kelelahan karena bekerja keras. Bahkan, jika seseorang tertidur karena kelelahan disebabkan mencari rezeki yang halal, tidurnya akan dipenuhi dengan ampunan dari Allah SWT. (HR Imam Tabrani).
Rasulullah SAW mengajarkan kita dengan kehidupan beliau yang mandiri. Sedari kecil, ia menggembala domba. Punya kakek dan paman dari pemuka kaum Quraisy tidak lantas mem buatnya bersandar pada orang lain. Seperti pepatah Arab yang masyhur, “Bu kanlah seorang fata (pemuda idam an) yang mengatakan ‘orang tua saya adalah si fulan’. Tetapi, fata yang sebenarnya adalah mereka yang mengatakan, ‘inilah saya’.”
Kemandirian seperti yang dicontohkan Abdurrahman bin Auf jarang sekali didapati di tengah-tengah masyarakat Muslim saat ini. Masih banyak dijumpai mereka yang bersandar secara ekonomi pada orang lain, bahkan pada dakwah Islam.
Tak sedikit para mubaligh yang meng gantungkan hidup dari amplop bercera mah. Banyak sekolah agama yang mengandalkan bantuan para do natur untuk terus eksis. Banyak pula kegiatankegiatan para remaja Muslim yang bertopang pada proposal bantuan dana.
Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Abu Bakar as- Shiddiq, serta sahabat-sahabat lainnya ada lah contoh para dermawan yang mem biayai dakwah dari kantong mereka sendiri. Ketika panggilan jihad datang, mereka berlomba-lomba mendanai jihad dari dana pribadi mereka. Tidak ada istilah pada zaman Rasulullah dan para sahabat mengajukan proposal bantuan dana kepada para donatur. Justru, me reka sendirilah yang membiayai dakwah mereka.
Mereka inilah yang menghidupkan jalan dakwah, bukan mencari hidup di jalan dakwah. Mereka mandiri secara fi nansial, kemudian membiayai dakwah mereka secara mandiri. Hal berbeda dengan sebahagian mubaligh yang ada saat ini.
Bukankah, sehari setelah Abu Bakar as-Shiddiq diangkat menjadi khalifah (Amirul Mukminin) ia masih berdagang ke pasar? Bukti bahwa dalam dakwah tak ada peluang mencari hidup. Ia mengajarkan, ialah yang harus membiayai dakwah, bukan dakwah yang membiayai kehidupannya.
Sayangnya, para mubaligh tidak mempunyai bisnis sampingan sebagai ladang ma’isyah (mata pencarian) mereka. Kesibukan mereka di dunia dakwah telah menutup kesempatan mereka untuk mengambil jatah mereka di dunia. Akhirnya, jadilah dunia dakwah sebagai ladang mendapatkan ma’isyah. Mereka digaji sangat rendah dari para karyawan kantoran.
Tidak bisa tidak, seorang dai harus mempunyai bisnis sendiri sebagai ma’isyah-nya. Sebuah pondok pesantren dan sekolah agama harus mempunyai unit usaha sendiri untuk menjalankan roda pembangunan dan ekonominya. Dan, para remaja Muslim harus lebih kreatif menggelar berbagai kegiatan tanpa harus membuat proposal permohonan dana. Tunjukkan, sebagai umat Islam, berpantang untuk meminta-minta dan memberatkan orang lain.