Kamis 05 Jul 2018 14:17 WIB

Kompromi di Balik Aturan Larangan Eks Koruptor Nyaleg

Pemerintah akhirnya mengundangkan PKPU 20/2018.

Rep: Dian Erika Nugraheny, Fauziah Mursid, Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Ketua KPU RI Arief Budiman (tengah) didampingi oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kanan) dan Ilham Saputra (kiri) memberikan keterangan pers terkait perkembangan Pilkada serentak 2018 di Gedung KPU Pusat, Jakarta, Jumat (29/6).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Ketua KPU RI Arief Budiman (tengah) didampingi oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kanan) dan Ilham Saputra (kiri) memberikan keterangan pers terkait perkembangan Pilkada serentak 2018 di Gedung KPU Pusat, Jakarta, Jumat (29/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum-HAM), akhirnya mengundangkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang memuat larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam pemilu 2019. Aturan ini masuk dalam Berita Negara Republik Indonesia bernomor 834, 2018.

Sebelum aturan ini akhirnya ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkum-HAM, Widodo Ekatjahjana pada Senin (2/7), prokontra sempat muncul. Dua kubu terbelah antara yang mendukung dan menolak PKPU.

Setelah PKPU Nomor 20 Tahun 2018 diserahkan oleh KPU kepada Kemenkum-HAM pada 4 Juni, Menkumham Yasonna Laoly, dengan tegas menyatakan, tidak bersedia menandatangani draf PKPU itu.

Yasonna beralasan, substansi dalam PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-undang di atasnya, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. "Jadi, nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan UU itu saja," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6).

PKPU tersebut juga dinilai tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya pernah menganulir pasal mantan narapidana ikut dalam pilkada pada 2015 lalu. "Kita ini sedang membangun sistem ketatanegaraan yang baik. Tujuan yang baik jangan dilakukan dengan cara yang salah," ujar Yasonna.

Pekan lalu, Yasonna menegaskan, pemerintah tidak bisa mengundangkan PKPU 20/2018. "Tidak bisa (peraturan diundangkan oleh KPU), batal demi hukum," kata Yasonna H Laoly di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (26/6).

Beberapa hari sebelumnya, pada Kamis (21/6), KPU mengirimkan surat kepada Kemenkumham mengenai permintaan KPU agar Peraturan KPU yang mengatur larangan tersebut tidak ditolak Kemenkumham. Lalu, Kemenkumham pun membalas, bahwa aturan tersebut belum dapat diundangkan.

Selain Kemenkum-HAM, Kemendagri, dan Bawaslu, sebagian anggota DPR juga menjadi pihak penolak PKPU Caleg. DPR melalui Komisi II bahkan sempat mewacanakan menggulirkan Hak Angket terhadap KPU yang dipersilakan oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo.

Baca: Mendagri-Menkumham Kompak Tolak PKPU Soal Mantan Koruptor.

Adapun, pihak yang mendukung PKPU yang melarang eks koruptor menjadi caleg, adalah KPK dan berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti Perludem dan Indonesia Corruption Watch. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menilai, aturan ini seharusnya sudah ada sejak dahulu.

KPU bergeming atas beragam penolakan. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, akan tetap memberlakukan PKPU yang memuat larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. "Kalau kita (PKPU) pencalonan jalan terus," ujar Arief, Jumat (29/6).

Sikap keras ini kemudian direspons oleh Kemenkumham dengan mengundang Arief dan koleganya dalam sebuah rapat tertutup pada Jumat (29/6) sore. Pertemuan digelar Lantai 5, Gedung Imigrasi, Kompleks Kemenkumham, Kuningan, Jakarta Selatan.

Pertemuan dimulai sekitar pukul 16.30 WIB. Ketua KPU, Arief Budiman bersama enam komisioner KPU  lain hadir dalam pertemuan itu. Berdasarkan informasi yang dihimpun Republika.co.id, KPU mengadakan pertemuan dengan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Widodo Ekatjahjana, beserta jajarannya.

Hasil pertemuan tertutup antara pemerintah dan KPU itu tidak diketahui publik sampai akhirnya pada Senin (2/7) pagi Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkum-HAM, Widodo Ekatjahjana menandatangani PKPU 20/2018. Kompromi sepertinya terjadi dengan sedikit mengubah isi PKPU Nomor 20 itu.

Perubahan itu menyasar aturan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Semula, aturan itu tertuang dalam Pasal 7 ayat 1 huruf h Bab II Bagian Keempat tentang Pengumuman dan Tata Cara Pengajuan Bakal Calon. Aturan itu mulanya berbunyi:

"[bakal calon anggota legislatif] Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,"

Sementara itu, dalam PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang sudah diundangkan Kemenkum-HAM, larangan itu diatur dalam Pasal 4 Ayat 3 Bab II Bagian Kesatu tentang Umum.

"Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), [partai politik] tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi,"

Pasal tersebut diketahui tidak mengatur tentang syarat bacaleg yang ditetapkan KPU. Namun, tentang bagaimana parpol menyeleksi bacaleg sebelum didaftarkan ke KPU.

Komisioner KPU, Ilham Saputra, mengatakan ada perubahan atas aturan pencalonan caleg sebelum PKPU Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diundangkan. "Ya (diubah oleh KPU). Perubahan itu dilakukan melalui rapat pleno KPU," ujar Ilham lewat pesan singkat kepada Republika, Rabu (4/7).

Meski diubah, Ilham menolak jika KPU dianggap melakukan kompromi kepada lembaga terkait, baik Kemenkum-HAM, Bawaslu dan Kemendagri. Menurutnya, perubahan itu tidak menjadikan substansi atas larangan caleg dari mantan koruptor menjadi berubah.

"Bukan kompromi. Toh tidak mengaburkan substansinya. Wong kita yang menyusun," tegas Ilham.

Pada Kamis (5/7), DPR menggelar rapat konsultasi dengan dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hasil dari rapat itu disepakati, mantan narapidana korupsi tetap diperbolehkan ikut mendaftar sebagai calon anggota legislatif baik DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.

Hasil rapat konsultasi ini sebagai tindak lanjut pascadiundangkannya PKPU Nomor 20 Tahun 2018. "Maka tadi kami sepakat memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mendaftar menjadi calon legislatif di semua tingkatan melalui parpolnya masing-masing," ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/7).

Namun, meski dapat mendaftar, penentuan terpenuhi syarat atau tidaknya bakal calon tersebut dikembalikan kepada KPU pada proses verifikasi caleg.  Sementara sambil menunggu proses verifikasi caleg di KPU, mantan napi yang mendaftar caleg tersebut dipersilakan untuk menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan uji materi kepada MA terkait PKPU yang melarang mantan napi menjadi caleg.

"Sambil menunggu proses verifikasi yang bersangkutan juga dipersilakan untuk menggunakan haknya atau gugatan kepada MA agar peraturan yang ada dalam PKPU itu bisa kemudian diluruskan oleh MA, sehingga putusan apa pun dari MA nanti akan menjadi patokan bagi KPU untuk meneruskan para pihak yang mendaftar atau yang tidak memenuhi ketentuan PKPU," ujar Bamsoet, sapaan akrabnya.

Menurutnya, putusan MA nantinya akan menentukan hasil verifikasi KPU terhadap bacaleg yang pernah menjadi terpidana tiga tindak pidana bandar narkoba, kejahatan seksual pada anak dan korupsi. "Oleh MA kalau diterima maka KPU akan meneruskan proses verifikasinya menjadi daftar calon tetap tapi kalau ditolak KPU akan mencoret dan mengembalikannya ke parpol yang bersangkutan," ujar Bamsoet.

Bamsoet mengakui, kesepakatan tersebut setelah adanya perdebatan adanya norma larangan mantan napi maju caleg di PKPU 20/2018. Sehingga ia berharap kesepakatan itu dapat menurunkan tensi politik yang terjadi saat ini.

"Mudah-mudahan ini bisa menurunkan tensi politik yang makin menghangat dalam beberapa hari ini. Pada akhirnya kita semua berpulang pada putusan MA, sambil menunggu itu tanpa kita berupaya memberikan kesempatan pada hak-hak WN," ujarnya.

Respons Istana

Pada hari yang sama PKPU 20/2018 resmi diundangkan oleh Kemenkum-HAM, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui keterangan resmi istana, menghormati keputusan KPU atas peraturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mengikuti pemilihan anggota legislatif 2019. Menurut Jokowi, keputusan KPU tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang yang telah memberikan kewenangan kepada KPU untuk membuat peraturan itu.

"Undang-Undang memberikan kewenangan kepada KPU untuk membuat peraturan," ujar Jokowi.

Kendati demikian, Presiden mempersilakan pihak yang berkeberatan dengan aturan tersebut untuk menggunakan mekanisme yang ada. Yakni, dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

PDIP sebagai salah satu partai yang sebelumnya menolak aturan larangan eks koruptor nyaleg, juga kemudian melunak setelah PKPU 20/2018 resmi diundangkan. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya menanggapi positif atas keputusan Menkumham yang telah menandatangani PKPU nomor 20 tahun 2018.

"(Untuk) mencermati berbagai aspirasi yang berkembang, dan mendorong peningkatan kualitas demokrasi yang diawali dengan seleksi bakal calon yang bebas dari korupsi," kata Hasto melalui keterangan tertulis, Rabu (4/7).

Di kantor DPD PDIP Jatim, 27 Mei lalu, Hasto mengatakan, sebaiknya para mantan napi korupsi tetap bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tujuannya, kata dia, demi menjaga hak konstitusi warga negara.

Apalagi, menurutnya kala itu, seorang mantan napi korupsi jelas telah menjalani hukumannya dan sudah pula membangun interaksi sosial secara baik dengan masyarakat. Hasto saat itu juga menerangkan, putusan pengadilan yang bisa mencabut hak politik seseorang.

"Selama tidak ada hak politik yang dicabut, mereka (mantan napi korupsi) memiliki hak untuk itu (dicalonkan dan mencalonkan)," kata dia.

Dampak Bagi Parpol

Resmi diundangkannya PKPU 20/2018 tentunya membawa konsekuensi, khususnya bagi parpol yang akan mendaftarkan calegnya ikut Pemilu 2019. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari, mengatakan, akan ada sanksi kepada parpol jika masih mencalonkan mantan koruptor sebagai caleg. Berkas pendaftaran caleg oleh parpol tidak bisa diproses jika tetap mencalonkan mantan koruptor.

"Dokumen (pendaftaran) kami kembalikan. Dikembalikan kan artinya tidak bisa melanjutkan. Sanksi adminstratifnya kan itu," ujar Hasyim kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/7).

Jika berkas pendaftaran itu dikembalikan, lanjut dia, maka akan mempengaruhi seluruh daftar caleg yang diajukan oleh parpol. "Katakanlah yang namanya daftar kan pasti bawa semua (caleg) dari semua daerah pemilihan (dapil) . Misalkan ada dua dapil, di situ ada nama calon yang permah terlibat ini (korupsi) maka yang dua dapil ini dikembalikan dulu. Nanti kalau dua dapil belum diberesin ya belum bisa diproses," tegas Hasyim.

Hasyim melanjutkan, penggantian caleg bisa bermakna dua hal. Pertama, caleg yang bermasalah (tidak memenuhi kriteria persyaratan pendaftaran sebagaimana PKPU Nomor 20 Tahun 2018) akan diganti oleh orang lain. Kedua, caleg yang tidak memenuhi kriteria itu akan dihilangkan.

Karena itu, Hasyim mengimbau agar parpol mengajukan bakal caleg yang memenuhi kriteria persyaratan dan juga bebas dari tindak pidana kasus korupsi. "Yang perlu diingat adalah apakah rakyat Indonesia mau mendapatkan caleg yang seperti itu? (mantan koruptor)," tambahnya.

Pendaftaran caleg dimulai sejak 4 Juli hingga 17 Juli. Pada 4-16 Juli, pendaftaran caleg dibuka sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Sementara itu, pada hari terakhir atau 17 Juli, pendaftaran caleg dibuka sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB.

KPU mengimbau parpol untuk tidak mengirimkan atau menyerahkan berkas itu pada hari terakhir. Alasannya, para pendaftar masih memiliki waktu jika ada perbaikan (dalam berkas pendaftaran).

Jika berkas pendaftaran diserahkan di awal, maka perbaikan berkas masih memiliki cukup waktu. Pasalnya, waktu untuk perbaikan syarat caleg itu dibuka sejak berkas pendaftaran resmi diserahkan, sampai pada 17 Juli nanti. Kita tunggu bagaimana respons parpol atas aturan main baru pencalegan ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement