Kamis 05 Jul 2018 19:07 WIB

KPK Diminta Kaji Pencemar Citarum Dijerat Pasal Korupsi

Pencemaran sungai dinilai termasuk perbuatan merugikan negara.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Muhammad Hafil
Warga mencari ikan diantara sampah dan eceng gondok di Sungai Citarum Kawasan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (26/6).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Warga mencari ikan diantara sampah dan eceng gondok di Sungai Citarum Kawasan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (26/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemprov Jawa Barat, Kamis (5/7), menggelar rapat koordinasi pencegahan korupsi dengan KPK di Hotel Trans Luxury, Kamis (5/7). Menurut Penjabat (Pj) Gubernur Jabar, Mochamad Iriawan, dalam pertemuan tersebut ia meminta KPK menyoroti masalah limbah yang saat ini telah menjadi sorotan nasional dan internasional.

"Saya minta Pak Asep (perwakilan KPK) mengkaji dengan dinas lingkungan gimana bisa menerapkan pasal-pasal yang ada korupsi kepada para pengusaha pencemar Citarum yang membuang limbah," ujar Iriawan kepada wartawan.

Iriawan mengatakan, ia meminta KPK untuk mengkaji hal itu. Sehingga nanti, semua pengusaha pencemar Sungai Citarum bisa diterapkan pasal korupsi. Ia mencontohkan, saat terjadi pencemaran bisa dihitung berapa kerugian negaranya. Misalnya, berapa banyak izin yang dilanggar sehingga merugikan negara.

"Itu lagi dikaji. Biar nanti mereka jera. Ini kajiannya dilakukan oleh KPK," katanya.

Sehingga, kata dia, nanti penyelidikan penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara domainnya ada di KPK. Nanti, saat terjadi pencemaran domainnya diarahkan ke korupsi seperti dalam izin, ditentukan harus sekian, kalau membayarnya lebih berarti bisa merugikan negara.

"Seperti pada kasus menghalangi penyidikan korupsi yang ditindak oleh KPK kan itu kena," katanya.

Iriawan berharap, KPK pun bisa menerapkan pasal korupsi di pabrik-pabrik sepanjang Sungai Citarum yang membuang limbah sembarangan.

"Kajian soal itu tadi yang saya minta. Kan rakyat Jabar sekitar sungai Citarum sudah sengsara, penyakit banyak, ekosistem mati, kalau ga kita maksimal hukum yang diterapkannya akan belanjut," katanya.

Selain tentang Citarum, kata dia, dalam pertemuan dengan tim pencegahan korupsi di Jabar, ia pun menyampaikan ke seluruh OPD (organisasi perangkat daerah) disampaikan tentang korupsi dan gratifikasi.

"Kalau penecegahan maksimal, gak akan terjadi korupsi. Kami jelaskan, domain-domain korupsi di mana, apa yang harus dilakukan," katanya.

Sebenarnya, kata dia, dengan e-katalog barang dan jasa korupsi bisa dicegah. Karena, semua harga sudah terpampang dalam e-katalog seperti ban mobil sudah jelas harganya sehingga bisa mengurangi korupsi barang dan jasa. 

Sebelumnya, pada Maret 2018 lalu, KPK untuk pertama kalinya menggunakan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian keuangan negara. Hal ini diterapkan dalam penuntutan bagi terdakwa gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam.

"Ini untuk pertama kalinya digunakan untuk menghitung kerugian negara. Selanjutnya tinggal menunggu putusan majelis hakim," ujar jaksa Subari Kurniawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/3). 

Dalam kasus Nur Alam, jaksa menilai, perbuatan politikus PAN itu telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah. Pengajar Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis menghitung adanya kerugian negara sebesar Rp 2,7 triliun akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di Pulau Kabaena.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement