REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memutuskan untuk melakukan banding atas vonis Pengadilan Tipikor untuk terdakwa merintangi pemeriksaan Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP-el, Fredrich Yunadi. Ini berarti, baik KPK maupun Fredrich sama-sama mengajukan banding.
"Pernyataan banding telah disampaikan oleh JPU KPK. Sedangkan memori banding sedang kami susun sembari menunggu salinan putusan lengkap diterima KPK," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Ahad (8/7).
Febri menuturkan, pada dasarnya, JPU KPK memahami untuk pembuktian dakwaan, putusan majelis hakim prinsipnya sama dengan uraian analisa JPU. "Namun kami pandang, hukuman penjara masih di bawah 2/3 dari tuntutan KPK," ucap Febri.
Sebelumnya, dalam putusan yang dibacakan majelis hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/6), Fredrich dinilai terbukti merintangi pemeriksaan Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP-el. "Kami menyatakan banding, hari ini juga kami membuat akta banding," kata Fredrich di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis pekan lalu.
Bekas pengacara Setya Novanto itu divonis tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan. Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut agar Fredrich Yunadi divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan.
Seusai sidang, Fredrich pun menyampaikan sejumlah keluhan dan protes terhadap vonis tersebut. "Jadi tadi saya sudah mendengarkan pertimbangan majelis hakim, ternyata pertimbangannya copy paste (menyalin) dari jaksa, saya bisa buktikan apa yang disampaikan majelis hakim 100 persen apa yang disampaikan jaksa, copy paste itu pelanggaran, akan langsung saya laporkan ke Komisi Yudisial," kata Fredrich berapi-api kepada wartawan.
Keberatan kedua adalah menurut Fredrich, majelis hakim bersikap inkonstitusional. Karena, menurutnya, Indonesia menganut sistem hukum kontinental dan anglo saxon.
"Ketiga, hari ini 28 Juni saya akan bicara dengan teman-teman Peradi dan advokat lainnya bahwa hari ini adalah hari abu-abu atau kematiannya advokat, karena peran advokat sudah hancur. Kita sudah diinjak habis dari penegak hukum lainnya. Istilahnya G30S, 28 Juni adalah hari kematiannya advokat," jelas Fredrich dengan wajah tegang.
Ia menilai, bahwa advokat yang membela kliennya dapat dijerat pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. Fredrich mengaku sudah memprediksi akan divonis bersalah oleh hakim.
"Saya sudah prediksi (divonis bersalah) karena terus terang selama sidang majelis hakim menjadi bagian KPK, karyawan KPK, karena bila ada sesuatu majelis hakim nanya pertimbangan jaksa, padahal sidang punya siapa? Sidang punya pengadilan, hakim yang harusnya memerintah jaksa, tapi ini jaksa memerintah hakim, ini kehebatan KPK, tiada instansi lain di RI yang lebih hebat dari KPK," tuding Fredrich.
Fredrich pun menuduh bahwa tim jaksa penuntut umum KPK yang menuntutnya termasuk orang-orang yang tidak waras. "Ini kan jaksanya tidak waras, oknumnya tidak waras, masa saya dituntut 12 tahun? Saya tanya sekarang, saya korupsinya apa? saya menghalangi kenapa? Kamu (wartawan) kalau ngikutin orang edan kamu juga edan," tambah Fredrich.
Fredrich juga mengaku sampai saat ini belum dibayar oleh mantan Ketua DPR Setya Novanto. "Kita malah paling takut koruptor, kenapa? Karena nanti kita dijebak malah disebut ikut menikmati hasil korupsi lagi, kita paling takut, apa saya dibayar sama Pak Setya Novanto? Belum, dibayar janji surga saya," kata Fredrich sambil berlalu.