REPUBLIKA.CO.ID, ISTAMBUL -- Recep Tayyip Erdogan dilantik sebagai presiden Turki pada Senin (9/7). Erdogan kemudian melantik kabinet yang disederhanakan untuk mencapai ambisinya mendorong pertumbuhan agar menjadikan Turki sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia.
Erdogan menang dalam referendum tahun lalu untuk menggantikan demokrasi parlementer negaranya dengan sistem yang menampilkan presiden berkuasa. Hal itu diikuti dengan kemenangannya dalam pemilihan umum bulan lalu.
Dia mengatakan bahwa perubahan diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Turki dan menjamin keamanannya. "Turki memasuki era baru dengan upacara pelantikan presiden pada Senin," kata Erdogan kepada Partai AK yang berkuasa. "Dengan kekuatan yang diberikan kepada kami oleh sistem presidensial yang baru, kami akan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih kuat," ujarnya menambahkan.
Para penentangnya mengatakan kekuatan baru menandai kemunduran otoritarianisme. Mereka menuduh Erdogan mengikis institusi sekuler yang didirikan oleh pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk, dan mendorongnya lebih jauh dari nilai-nilai Barat pada demokrasi serta kebebasan berbicara.
Pada malam pelantikan, pihak berwenang memecat lebih dari 18 ribu pegawai negeri, sebagian besar dari mereka dari polisi dan tentara. Menurut pemerintah, hal itu akan menjadi keputusan akhir di bawah pemerintahan darurat yang diberlakukan menyusul kudeta 2016 yang gagal.
Lebih dari 150 ribu pegawai negeri telah kehilangan pekerjaan mereka dalam tindak keras setelah upaya kudeta. Menteri Dalam Negeri Turki mengatakan pada April sekitar 77 ribu orang telah secara resmi didakwa dan dipenjara selama persidangan.
Sejak menjabat pada 2003, pertama sebagai perdana menteri dan kemudian sebagai presiden, Erdogan telah mendominasi Turki. Ia memperketat cengkeramannya atas negara 81 juta orang saat ia menjinakkan pusat-pusat kekuatan yang bersaing dengannya, termasuk militer, yang menggulingkan beberapa pemerintah sebelumnya.
Di bawah kepemimpinannya, Ankara memulai pembicaraan aksesi dengan Uni Eropa, yang terhenti di tengah kritik Uni Eropa tentang hak asasi manusia di Turki. Hubungan dengan Amerika Serikat dan mitra NATO lainnya juga terbengkalai. Tetapi Turki dianggap tetap sangat penting untuk upaya menciptakan stabilitas di Suriah dan Irak serta membatasi arus pengungsi ke Eropa.
Erdogan mengatakan akan mengumumkan kabinet pada Senin malam. Ia berjanji akan mengurangi anggota kabinetnya menjadi 16 dari lebih dari 20. Pada Sabtu, ia juga mengatakan akan mengatasi tingkat suku bunga tinggi, inflasi, dan defisit neraca berjalan yang lebar. "Kami akan membawa negara kami lebih jauh dengan menyelesaikan masalah struktural ekonomi kami," katanya.
Inflasi melonjak bulan lalu di atas 15 persen, level tertinggi dalam lebih dari satu dekade. Hal itu terjadi meskipun kenaikan suku bunga sebesar 500 basis poin oleh bank sentral telah dilakukan sejak April. Kurs lira juga jatuh terhadap dolar AS.
Setelah kemenangan pemilihannya dua minggu lalu, Erdogan mengatakan dia akan melakukan segala hal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
"Tidak ada penghentian bagi kami sampai kami membawa Turki - yang kami selamatkan dari para komplotan, pengkhianat dan politik dan ekonomi, geng jalanan dan organisasi teroris - ke dalam sepuluh negara teratas di dunia," katanya.