Senin 09 Jul 2018 21:41 WIB

Perang Dagang Cina-AS dan Antisipasi Pemerintah Indonesia

Berbagai instrumen guna mengurangi tekanan pasar dagang disiapkan.

Rep: Debbie Sutrisno, Binti Sholikah, Melissa Riska Putri/ Red: Andri Saubani
Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump di Beijing, Cina, Kamis (9/11).
Foto: AP Photo/Andrew Harnik
Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump di Beijing, Cina, Kamis (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia akan meneliti dan mengatisipasi dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina. Evaluasi ini akan dilakukan pemerintah pada semester II 2018 yang menjadi enam bulan pertama pascadimulainya perang dagang oleh AS.

Berbagai instrumen guna mengurangi tekanan pasar dagang pun disiapkan. "Dan kita juga berharap daya tahan dari industri dan para pelaku ekonomi kita dalam situasi menghadapi tekanan seperti ini," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Senin (9/7).

Penerbitan instrumen ini diharap mampu memperkuat ekspor dan berbagai aktivitas ekonomi yang bisa menghasilkan devisa bagi negara termasuk sektor pariwisata. Di sisi impor, pemerintah pun akan mengerem permintaan barang dari luar negeri yang dianggap tidak terlalu prioritas dan bisa dihasilkan oleh produsen dalam negeri.

Sri Mulyani menuturkan, dari paparan yang disampaikan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri ESDM, pemerintah akan menginventarisasai beberapa hal yang diusulkan untuk dikaji jika memang membutuhkan insentif khusus. Dia menjelaskan, beberapa industri dianggap membutuhkan kebijakan guna menjaga bea masuk.

Langkah itu diambil agar barang yang menjadi bahan baku industri, mendapatkan keringanan atas impor barang modal. Sehingga produk yang dihasilkan nantinya bisa lebih kompetitif ketika dijual ke luar negeri.

"Apakah bisa dibebaskan bea masuknya. Kita akan melakukan evaluasi," ujar Sri Mulyani.

Selain insentif bea masuk, pemerintah pun akan memberikan dukungan bagi industri dalam bentuk pajak yang ditanggung pemerintah, sehingga tidak menjadi beban perusahaan. Pada prinsipnya pemerintah akan melihat industri manufaktur mana saja yang bisa menghasilkan barang ekspor dan menghasilkan substansi impor.

Jika perusahaan ini tidak diberikan bea masuk yang rendah, maka alternatif peralihan pajak menjadi langkah lain. Pemerintah Indonesia juga akan melihat dinamika dari perkembangan ekonomi global termasuk perdagangan secara langsung Indonesia-AS.

Di lain pihak, pemerintah pun terus memantau perkembangan tata cara dagang AS dengan negara lain di Eropa dan Meksiko di mana negara Paman Sam memiliki kebijakan perdagangan tersendiri. "Maka kita sekarang melakukan asesmen terhadap ekonomi dunia, karena ekonomi dunia akan terpengaruh dari hubungan yang tidak baik ini, hubungan yang mengalami ketegangan," ujar Sri Mulyani.

Selain evaluasi, dalam satu semester ke depan, pemerintah pun akan melakukan evaluasi dalam 12 dan 18 bulan ke depan. Sebab, segala hal bisa terjadi dengan ketidakpastian yang terjadi, khususnya berbagai kebijakan yang bisa saja diluncurkan oleh AS maupun negara lain.

PDB Asia-Pasifik diprediksi terpangkas

Serangkaian keputusan oleh AS untuk memberlakukan tarif perdagangan pada berbagai mitra dagang utama, termasuk Cina, Uni Eropa, India, Rusia dan mitra NAFTA kunci dari Kanada dan Meksiko, telah melambungkan dunia ke arah skenario perang perdagangan global. Kepala Ekonom Asia Pasifik di IHS Markit, Rajiv Biswas, menyatakan, eskalasi perang perdagangan global ini dapat memangkas pertumbuhan PDB Asia-Pasifik (APAC) sebanyak 1 persen pada 2019.

Wilayah APAC dinilai sangat rentan terhadap skenario perang perdagangan seperti itu. Karena, Cina berada di garis depan langkah-langkah tarif AS dan merupakan ekonomi terbesar di APAC.

"Banyak ekonomi APAC lainnya juga rentan terhadap kerusakan agunan dari perang perdagangan AS-Cina yang meningkat karena rantai pasokan manufaktur Asia Timur yang terintegrasi dan pentingnya China sebagai pasar ekspor untuk ekonomi APAC lainnya," jelasnya melalui siaran pers, Senin (9/7).

Lantaran pemerintah AS telah memutuskan untuk mengenakan tarif pada berbagai produk impor dari mitra dagang utama, lanjutnya, Cina berada di garis depan, dengan tarif pajak AS sebesar 25 persen diterapkan pada impor Cina senilai 34 miliar dolar AS yang berlaku mulai 6 Juli 2018.

Cina segera membalas dengan tarif pada jumlah yang setara dengan impor senilai 34 miliar dolar AS dari AS. Tarif tersebut menargetkan produk pertanian AS, termasuk kedelai, susu dan daging sapi serta otomotif dan suku cadang buatan AS.

Pemerintah AS berencana meningkatkan hingga 50 miliar dolar AS nilai total produk-produk Cina yang akan dikenakan tarif tarif Bagian 301. Presiden Trump juga mengindikasikan tambahan impor senilai 200 miliar dolar AS dari Cina dapat dikenakan tindakan tarif jika Cina memberlakukan langkah-langkah tarif pembalasan, yang telah dilaksanakan oleh Cina pada 6 Juli.

Rajiv menjelaskan, dampak perang dagang tersebut terhadap Cina antara lain, sekitar setengah dari ekspor Cina ke AS akan menghadapi tindakan tarif hukuman AS. "Sektor ekspor Cina akan mengalami penurunan daya saing ekspor yang signifikan ke AS dibandingkan dengan eksportir manufaktur pasar negara berkembang lainnya, seperti Vietnam, Korea Selatan, Thailand, Bangladesh, Meksiko, dan Brasil," terang Rajiv.

Selain itu, juga dikhawatirkan adanya dampak negatif tambahan terhadap ekonomi APAC. Tarif tinggi AS terhadap impor barang Cina akan menciptakan kerusakan tambahan untuk sektor ekspor banyak negara Asia lainnya, yang merupakan bagian dari manufaktur Asia.

Sekitar sepertiga dari total nilai ekspor Cina terdiri dari nilai tambah asing. Karena sebagian besar ekspor Cina diproduksi oleh perusahaan multinasional asing, AS dan perusahaan multinasional asing lainnya (MNC) dari negara-negara, seperti Uni Eropa, Jepang dan Korea Selatan yang memproduksi produk di Cina untuk diekspor ke AS, juga akan terpukul dengan langkah-langkah ini.

Peluang bagi Indonesia

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, beberapa produk-produk yang mungkin limpah masuk ke Indonesia akibat perang dagang adalah produk-produk besi baja dan logam. Kelimpahan besi baja ini menurutnya akan meningkatkan input produksi bagi Indonesia.

"Jadi sebenarnya ini bagus juga untuk proses industrialisasi jadi seharusnya harga bisa jadi lebih murah," kata dia kepada Republika, Ahad (8/7). Apalagi selama ini Indonesia mengalami deindustrialisasi.

Namun di sisi lain, ada kompetisi dengan industri baja setempat seperti Krakatau Steel yang akan terdampak paling signifikan. Hal itu karena harga baja Cina yang sangat murah.

Indonesia tidak bisa menghalangi masuknya produk Cina tersebut karena akan memicu perang dagang. Mencari pasar baru selain AS menjadi dampak lanjutan akibat trade war yang terjadi karena tidak mungkin menahan produksi negaranya. Pemilihan Indonesia tentunya karena merupakan pasar terbesar di ASEAN.

Menurut Fithra, ASEAN menjadi pasar prospektif sekaligus paling dekat dengan negara tersebut. Pasar ASEAN yang memiliki koneksi kuat dengan Cina yaitu Vietnam, Thailand, dan Myanmar.

Ia menambahkan, dampak perang dagang antara Cina dan AS bisa berdampak pada kontraksi ekonomi dunia baik dari kedua negara yang pada akhirnya berperan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia. "Dari situ saja kita bisa melihat, kemungkinan besar ekonomi dunia akan terkontraksi hingga 0,8 persen," kata dia.

Angka pertumbuhan ekonomi dunia proyeksi IMF sebesar 3,9 persen bisa berubah maksimal 3,1 persen sampai 3,2 persen. Belum lagi adanya tekanan pada rupiah yang merupakan hasil ekspektasi negatif dari perang dagang tersebut yang kemungkinan besar akan ada capital outflow menuju dolar AS.

"Itu dari dampak langsungnya," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement