Senin 09 Jul 2018 23:00 WIB

Fenomena Stunting Ancam Potensi Bonus Demografi

Selain bertubuh pendek, kecerdasan anak stunting juga kurang dibandingkan yang lain

Presiden Joko Widodo memperlihatkan makanan lokal dalam kampanye pencegahan stunting atau kerdil di Kecamatan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat Ahad (8/4).
Foto: Republika/Riga Nurul Iman
Presiden Joko Widodo memperlihatkan makanan lokal dalam kampanye pencegahan stunting atau kerdil di Kecamatan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat Ahad (8/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies mengingatkan bahwa fenomena stunting atau kekerdilan menjadi ancaman terhadap potensi bonus demografi. Oleh karena itu CIPS menyatakan harus bisa diantisipasi sejak anak berada dalam kandungan.

"Bonus demografi tidak akan berarti apa-apa tanpa generasi muda yang sehat jiwa dan raga. Dengan sehat jiwa dan raga, mereka akan mampu memaksimalkan potensi mereka dalam berbagai hal," kata Kepala Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi di Jakarta, Senin (9/7). Ia mengingatkan bahwa Indonesia diperkirakan akan menyongsong bonus demografi pada 2030.

Ia mengemukakan bahwa melimpahnya jumlah penduduk usia produktif tentu merupakan hal yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan capaian-capaian positif di berbagai bidang. Hal itu, ujar dia, harus dimulai dengan menciptakan generasi muda yang sehat, baik jiwa maupun raga. Pemenuhan gizi seimbang dapat dilakukan sebagai awal yang baik untuk tumbuh kembang anak.

Ia mengatakan stunting terjadi ketika anak mengalami kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama dan terus menerus."Akibatnya adalah anak tidak mengalami pertumbuhan fisik yang maksimal. Tinggi badan anak stunting biasanya lebih pendek dari rata-rata tinggi anak seusianya,"

Tidak hanya berdampak pada fisik, kecerdasan anak stunting biasanya juga tidak lebih baik daripada anak yang tidak mengalaminya. Selain itu, ujar dia, anak yang menderita malnutrisi juga cenderung lebih mudah sakit dan mengalami masalah kesehatan, seperti kanker, diabetes, dan jantung.

Hizkia menjelaskan anak mengalami pertumbuhan yang pesat pada usia 0-6 tahun. Pada fase itu, pertumbuhan otaknya mencapai 95 persen, sedangkan pada fase usia berikutnya (6-12 tahun) pertumbuhannya dapat dikatakan stabil. Setelah usianya 6 tahun atau lebih, pertumbuhan otaknya adalah lima persen.

"Stunting bisa berdampak hingga anak dewasa. Hal ini akan membuat anak tidak bisa maksimal dalam mengembangkan potensinya. Anak stunting juga akan memiliki potensi kerugian waktu dan tenaga karena memiliki tubuh yang rentan terkena penyakit. Belum lagi potensi kerugian ekonomi karena harus terus mendapatkan perawatan kesehatan akibat sakit yang diderita karena stunting," katanya.

Untuk itu, ujar dia, gizi seimbang adalah asupan yang mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral.

Pemenuhan gizi pada anak, katanya, dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Setelah anak dilahirkan, katanya, pemenuhan gizi yang seimbang berguna untuk mengoptimalkan pertumbuhan otak dan fisik anak.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement