REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Recep Tayyip Erdogan telah dilantik sebagai presiden Turki setelah kemenangannya pada pemilihan bulan lalu. Pelantikan yang berlangsung di Ankara ini sekaligus mengakhiri transisi negara dari sistem parlementer menjadi presiden eksekutif.
Setelah pelantikan, sebuah upacara digelar di istana kepresidenan pada Senin (9/7) waktu setempat. Para tokoh yang dijadwalkan akan menghadiri upacara ini yaitu Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan Qatar Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Di bawah sistem pemerintahan yang baru ini, Erdogan memiliki hak dan wewenang untuk mengangkat dan menurunkan wakil presiden termasuk juga para menteri dan pejabat tingkat tinggi tanpa harus meminta persetujuan parlemen.
Erdogan juga akan memiliki kekuatan untuk membubarkan parlemen, mengeluarkan keputusan eksekutif dan memberlakukan keadaan darurat. Kementerian utama tidak akan ada dalam sistem baru.
Baca juga, Arti Kemenangan Erdogan dan Masa Depan Turki.
Dalam upacara, Erdogan juga akan mengumumkan barisan kabinet barunya. Erdogan sebelumnya mengatakan, tidak akan ada anggota dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) yang masuk di jajaran kabinet baru.
Dia mengatakan, perubahan diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Turki dan menjamin keamanannya. "Turki memasuki era baru dengan upacara pelantikan presiden pada Senin," kata Erdogan kepada Partai AK yang berkuasa. "Dengan kekuatan yang diberikan kepada kami oleh sistem presidensial yang baru, kami akan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih kuat," ujarnya menambahkan.
Para penentangnya mengatakan kekuatan baru menandai kemunduran otoritarianisme. Mereka menuduh Erdogan mengikis institusi sekuler yang didirikan oleh pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk, dan mendorongnya lebih jauh dari nilai-nilai Barat pada demokrasi serta kebebasan berbicara.
Pada malam pelantikan, pihak berwenang disebut telah memecat lebih dari 18 ribu pegawai negeri, sebagian besar dari mereka dari polisi dan tentara. Menurut pemerintah, hal itu akan menjadi keputusan akhir di bawah pemerintahan darurat yang diberlakukan menyusul kudeta 2016 yang gagal.
Lebih dari 150 ribu pegawai negeri juga telah kehilangan pekerjaan mereka dalam tindak keras setelah upaya kudeta gagal terhadap Erdogan. Menteri Dalam Negeri Turki mengatakan pada April sekitar 77 ribu orang telah secara resmi didakwa dan dipenjara selama persidangan.
Sejak menjabat pada 2003, pertama sebagai perdana menteri dan kemudian sebagai presiden, Erdogan telah mendominasi Turki.