REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertanian Indonesia yang masih dikelola dalam bentuk kecil tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam jangka panjang. Untuk itu diperlukan korporasi petani seperti yang dilakukan pada sektor perkebunan.
Ratno Soetjiptadie Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac FAO-UN mengatakan, contohnya keberadaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII saat ini yang telah ada sejak zaman Belanda. Waktu yang dibutuhkan untuk memunculkan perusahaan khusus tanaman pangan ini pun relatif singkat.
"Hanya butuh satu hingga dua tahun," katanya saat ditemui dalam acara diskusi Forum Wartawan Pertanian di gedung Kementerian Pertanian, Senin (9/7).
Ia menjelaskan, perusahaan pertanian ini perlu kerja sama banyak pihak mulai dari petani, pemerintah maupun perguruan tinggi. Nantinya, lahan petani dikelola secara profesional oleh perguruan tinggi dengan kemampuan ilmu yang mumpuni sementara direkturnya adalah Kementan. Sementara petani sebagai pekerja sekaligus investor.
Lahan yang diperlukan untuk perusahaan ini sebesar satu juta hektare. Dana yang diperlukan diperkirakan Rp 5 triliun per 300 ribu hektare.
"Misalnya 1 jt hektare dibagi berapa zona, areal timur 300 ribu hektare, areal tengah 300 ribu hektare, barat 400 ribu hektare kan bisa," ujar dia.
Ia pun optimis korporasi ini bisa diterapkan dengan baik. "Saya yakin lah, satu dia menjadi pekerja di lahan yang dikelola. Kan dia dapat gaji," kata dia.
Susanto, ketua Kelompok Tani Taruna Tani di Nganjuk menyambut baik ide korporasi petani. Menurutnya, korporasi petani menerapkan prinsip gotong royong. Ini menjadi kelebihan bagi petani karena sudah menjadi kekuatan yang ada di Indonesia sekaligus memudahkan para petani dalam menghadapi permasalahan yang ada.
Namun perlu dilakukan edukasi kepada para petani. "Harus banyak dimotivasi," ujarnya.