REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Produsen tempe menjadi salah satu pihak yang merasakan langsung dampak nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga mencapai Rp 14.338 per dolar AS. Produsen tempe cukup terpukul dengan melejitnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.
Bukan tanpa alasan. Hingga kini sebagian besar kebutuhan kacang kedelai untuk bahan baku tempe masih diimpor dari luar. Bahkan sebagain besar impor dari Amerika Serikat (AS).
Artinya, terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, akan membuat harga kacang kedelai terus meroket. Kenyataan itu dirasakan langsung oleh salah seorang produsen tempe di Surabaya, Untung Sutopo (49). Untung mengeluh lantaran sejak Ramadhan, harga kacang kedelai tak kunjung menurun.
"Kalau normal itu kan harganya sekitar Rp 6.500-an per kilogramnya. Lah sekarang Rp 7.800 per kilogram. Padahal setiap hari saya membutuhkan kedelai unyuk pembuatan tempe sekitar 1,5 kuintal," kata Untung saat ditemui di kediamannya di Jalan Tenggilis Kauman, Tenggilis Mejoyo, Surabaya, Selasa (10/7).
Harga kacang kedelai yang tak kunjung normal tersebut, mambuat Untung beserta istrinya, Suminten (44) harus memutar otak. Itu tak lain karena mereka tidak bisa menaikan harga jual tempe ke konsumen.
Untung mengaku, produknya bisa kalah saing di pasaran, jika memaksa menaikan harga jual tempe. "Jalan satu-satunya saya mempertahankan usaha ini ya saya kecilkan potongan tempenya. Jadi ditipiskan, ukurannya sedikit diperkecil. Nanti kalau sudah stabil lagi dikembalikan lagi," ujarnya.
Untung yang menjual tempenya dengan kisaran harga Rp 4.000 hingga Rp 4.500 per potong itu pun mengaku sering mendapat protes dari konsumen. Konsumen melayangkan protes lantaran ukuran tempe yang dijual Untung lebih kecil dari biasanya.
Namun, setelah para konsumen menyadari adanya kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok, berangsur bisa menerima strategi yang dijalankan Untung. "Ya gimana lagi. Kalo kita tetap pertahankan ukuran potongan tempe seperti biasanya kita ga ada untungnya. Malah yang ada kita rugi nanti. Sekarang udah nggak ada konsumen yang protes, mereka sudah tahu," ujar Suminten.
Suminten pun beharap harga kacang kedelai bisa kembali normal. Ia menyadari, jika harga kacang kedelai tak kunjung normal, bisa mengancam kelangsungan usahanya.
Apalagi, kata dia, memproduksi tempe merupakan mata pencaharian satu-satunya bagi suami istri yang baru memiliki satu anak tersebut.
Produsen tempe lainnya, Poniman (51) juga mengeluhkan hal serupa. Poniman mengaku, kenaikan harga kacang kedelai sudah terjadi sejak memasuki bulan Ramadhan. Meski kenikan harganya tidak langsung dalam jumlah besar, namun terus terjadi.
"Naiknya sih enggak besar, paling Rp 50 per kilogram, atau Rp 100 per kilogramnya. Tapi kan sering, terus-terusan naiknya. Jadi ya lama kelamaan berat juga," kata Poniman.
Senada dengan Untung, Poniman pun mensiasati harga kacang kedelai yang tak kunjung turun dengan memperkecil potongan tempe yang diproduksinya. Itu tak lain karena Poniman merasa, cara tersebut menjadi jalan satu-satunya untuk bisa mempertahankan usaha yang telah dirintisnya selama bertahun-tahun.
"Ya karena kita kan tidak mungkin menailan harganya kalau tempa ini. Kalau kita naikan harganya Rp 500 saja per potongnya, itu pembeli sudah mengeluh. Nanti kita juga kalah saing," kata Poniman.
Meskipun ukuran potongannya diperkecil, Poniman memastikan, dia tetap menjaga mutu dari setiap tempe yang dijualnya. Sehingga, meskipun ada penyusutan pada setiap potongan tempe yang dijualnya, Poniman memastikan rasanya tetap enak.
Poniman pun berharap harga kacang kedelai bisa kembali normal seperti sebelumnha. Sehingga, bisa mengembalikan ukuran potongan tempe yang dijualnya ke ukuran semula. "Semoga kedelai kembali normal, cepat turun harganya, biar potongan tempenya kembali normal. Jadi konsumen gak ngeluh," ujar Poniman.