REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menyampaikan setidaknya ada tiga kriteria untuk menentukan sosok cawapres Joko Widodo. Pertama, sosok tersebut memiliki jaringan politik Islam yang kuat.
Kriteria ini penting lantaran mantan gubernur DKI Jakarta ini sudah diterpa isu SARA sejak mencalonkan diri sebagai presiden empat tahun lalu. "Suka atau tidak Jokowi menghadapi beban dari 2014, yaitu isu hoaks terkait dengan isu SARA,” kata Yunarto saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (10/7).
Yunarto menjelaskan hal ini juga yang dialami oleh partai pendukung Jokowi. “Yang sering mendapatkan serangan yang sama dan terutama PDI Perjuangan dalam hal ini," ujar dia.
Kriteria kedua, menurut Yunarto, sosok cawapres Joko Widodo tidak hanya diterima oleh kelompok Islam, tetapi juga harus diterima di semua kalangan. Termasuk juga golongan nasionalis dan minoritas.
Artinya, ia mengatakan, sosok ini sudah populer sehingga tidak perlu diperkenalkan kepada publik. Dengan demikian, ia memiliki elektabilitas yang mumpuni.
"Intinya, cenderung berdiri diatas semua golongan bisa diterima semua di semua kalangan," tambahnya.
Yunarto Wijaya (tengah). (Antara/Rosa Panggabean)
Ketiga, lanjut Yunarto, sosok tersebut didukung oleh partai politik. Yunarto menerangkan, ini terkait perdebatan mengenai calon dengan latar belakang partai dan non-partai.
Ia menilai dengan banyaknya partai koalisi yang masuk, orang non-partai akan lebih mudah diterima oleh semua partai. Sebab, ia mengatakan, ini tidak akan menimbulkan risiko buat partai yang tergabung dalam koalisi Jokowi.
Yunarto menerangkan jika salah satu ketua umum partai dipilih maka partai lainnya akan merasa dirugikan. Sebab, partai yang memperoleh coat-tail effect atau efek ekor jas atau limpahan suara Joko Widodo pada pemungutan suara Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 hanya partai tersebut.
Namun, Yunarto mengingatkan, pilihan pada kalangan non-partai ini akan berbeda dengan yang dialami oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009. Kala itu, ia mengatakan, sosok Boediono berhasil memperkecil risiko konflik di antara partai pendukung.
“Boediono yang dipilih adalah sosok yang betul-betul tidak memiliki jaringan politik, tidak memiliki modal, hanya loyalitas dan kemampuan saja. Saat itu, isu SARA tidak ada, pertarungan juga tidak sesulit sekarang," kata dia.
Injury time
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. (dok. Humas KSP)
Selain itu, Yunarto juga tidak meyakini Jokowi sudah memfinalisasi pada satu nama. Ia berpendapat sekarang ini kandidat yang dikantongi oleh Jokowi mengerucut ke beberapa nama.
Yunarto menyebutkan, tokoh-tokoh non-partai yang terkuat sebagai kandidat cawapres Jokowi, yakni, Mahfud MD dan Moeldoko. “Kalau mau kita berspekulasi orang partai yang terkuat Airlangga Hartanto,” kata dia.
Ia mengatakan, suka atau tidak suka, kandidat-kandidat tersebut harus juga dipikirkan dan dipertimbangkan oleh semua partai pendukung. Apalagi, mereka belum melakukan rapat mengenai cawapres itu, secara khusus juga belum mempertemukan mereka semua.
"Saya menembak akan di injury time mungkin hari terakhir baru akan diumumkan,” kata dia.
Yunarto memaparkan, ada dua keuntungan kalau Jokowi mengumumkannya pada injury time. Pertama, langkah Jokowi akan membuat lawan sulit melakukan konsolidasi dan akan membuat lawan berhati-hati untuk menentukan siapa pasangan.
Selain lawan, ia menambahkan, ini juga penting menguji partai-partai pendukung koalisi dan mengamankan posisi-posisi partai koalisi. "Sehingga, tidak membuka kemungkinan mereka lari ketika nama pasangan dan calon wakil presiden sudah diumumkan," kata dia.