REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Frederikus Dominggus Bata, Eko Supriyadi
Tujuh tahun selepas resmi menjadi negara merdeka, Kroasia menghadirkan kejutan besar pada Piala Dunia FIFA 1998 di Prancis. Berkat andil generasi emas berintikan Davor Suker, Zvonimir Boban, dan Robert Prosinecki, Kroasia sukses menembus semifinal.
Bahkan, dalam laga empat besar kontra tuan rumah Prancis, Vatreni sempat unggul via gol Suker pada menit ke-46. Namun, dwigol bek kanan Les Blues, Lilian Thuram, masing-masing pada menit ke-47 dan ke-70 mengubur impian Kroasia lolos ke partai puncak.
Dua puluh tahun pascakekalahan nan memilukan itu, generasi emas baru Kroasia yang dipimpin Luka Modric membukukan pencapaian gemilang. Dalam laga semifinal kontra Inggris di Stadion Luzhniki, Moskow, Kamis (12/7) dini hari WIB, Kroasia unggul 2-1 melalui perpanjangan waktu.
The Three Lions sempat memimpin saat laga baru berjalan lima menit melalui tendangan bebas Kieran Trippier. Namun, berkat kegigihan dan kerja keras, Kroasia sukses membalikkan keadaan melalui gol-gol yang dicetak Ivan Perisic pada menit ke-68 dan Mario Mandzukic ketika laga perpanjangan waktu memasuki menit ke-19.
Catatan unik dilansir Sportsnet selepas pertandingan. Modric dan kawan-kawan merupakan tim pertama dalam 20 tahun yang bangkit dari ketertinggalan pada empat besar Piala Dunia. Uniknya tim yang terakhir kali melakukan itu adalah Prancis saat mengalahkan Vatreni. Les Blues pula yang bakal menjadi lawan pada partai puncak di Stadion Luzhniki, Moskow, Ahad (14/7) mendatang.
Suasana di alun-alun Zagreb, ibu kota Kroasia, pun pecah selepas peluit panjang tanda pertandingan berakhir. The Guardian melaporkan, puluhan ribu fan tampak bersuka ria meluapkan keberhasilan Modric dan kawan-kawan menembus final.
Tidak hanya fan di alun-alun Zagreb, mereka yang berada di dalam rumah pun berhamburan ke luar rumah. Mereka membunyikan klakson kendaraan seraya mengibarkan bendera Kroasia. Kemacetan di jalan-jalan utama Zagreb pun tak terhindarkan.
"Saya tidak pernah berpikir ini akan terjadi. Luar biasa," ujar Lucia Pupic, pelajar 19 tahun yang ditemui di sekitar alun-alun. "Rasanya seperti mimpi," katanya.
Rekan Pupic, Filip Culibrk, mengaku sejak awal percaya dengan kapasitas Vatreni. "Kami memiliki passion dalam apa pun yang kami lakukan dan ini yang kami tunjukan kepada dunia," ujarnya.
Zlatko Dalic, pelatih Kroasia, masih mengingat jelas memori kekalahan atas Prancis pada semifinal Piala Dunia 1998. Saat itu, dia mengaku berada di Prancis sebagai suporter. Menurut Dalic, semua orang di Kroasia tidak akan pernah melupakan saat Thuram mencetak gol kemenangan Les Blues.
"Hal itu menjadi topik pembicaraan selama 20 tahun. Saya ingat saat kami merayakan gol (Davor) Suker, tapi kami segera kembali tertunduk," ujar Dalic seperti dilansir dari laman resmi FIFA, Kamis (11/7). Tak ayal, Dalic begitu antusias menyambut partai final nanti.
Terkait pertandingan melawan Inggris, pelatih berusia 51 tahun itu memuji semangat para pemain. Apalagi, Kroasia sempat tertinggal satu gol saat awal-awal laga. Namun, tanpa patah semangat, Kroasia membalikkan keadaan.
Ihwal lawan di final nanti, Dalic menilai tim asuhan Didier Deschamps itu telah memperlihatkan kualitas mereka. Ia pun memastikan pertandingan nanti bukanlah ajang balas dendam atas memori 20 tahun lalu. "Yang harus kami lakukan adalah fokus memainkan permainan terbaik kami," katanya.
Keberhasilan Kroasia menembus final memang di luar dugaan. Ini karena publik sejak jauh-jauh hari lebih menjagokan negara-negara unggulan macam juara bertahan Jerman, juara lima kali Brasil, juara Piala Eropa 2016 Portugal, hingga Argentina.
Namun, perlahan tapi pasti, Kroasia menunjukkan diri sebagai tim kuda hitam yang patut diperhitungkan. Mulai dari menjuarai Grup D sekaligus menyingkirkan Argentina hingga satu per satu menyingkirkan Denmark, tuan Rumah Rusia, dan Inggris.
Dari sisi materi pemain, generasi emas kali ini jauh lebih baik dibandingkan generasi emas 1998. Modric merupakan motor lini tengah jawara Spanyol, Real Madrid. Bersama Ivan Rakitic (Barcelona) dan Marcelo Brozovic (Inter Milan), ketiga pemain itu selalu bermain solid mengawal lini tengah.
Ketiga nama itu juga ditopang nama-nama lain macam Mario Mandzukic (Juventus), Dejan Lovren (Liverpool), Ivan Perisic (Inter Milan), dan Sime Vrsaljko (Atletico Madrid). Kualitas para pemain pengganti pun tak kalah mengilap karena masih ada Mateo Kovacic (Madrid) dan Marko Pjaca (Juve). Sejak awal Piala Dunia FIFA 2018, taktik permainan Kroasia fokus pada pressing ketat sejak lawan menguasai bola di lini pertahanan.
Peran Mandzukic sebagai defensive striker sangat vital dalam pola tersebut. Laga melawan Inggris menggambarkan kesuksesan taktik pressing ketat ala Ladic.
Gareth Southgate (kanan) memeluk Marcus Rashford.
Belum percaya
Di sisi lain, kekalahan Inggris terasa menyakitkan bagi seluruh masyarakat Negeri Big Ben. Apalagi, Inggris terakhir kali menjadi juara Piala Dunia pada 1966. Ketika itu, bermain di kandang sendiri, yaitu Stadion Wembley, Bobby Charlton dan kawan-kawan menang 4-2 atas Jerman Barat.
Sebelum melawan Kroasia, kata-kata "Football is Coming Home" semakin menggema. Sebuah frasa yang berarti saatnya Piala Dunia kembali ke rumah (Inggris selalu mengklaim sebagai pelopor sepak bola modern). Namun, Inggris kembali gagal sehingga harus menunggu hingga Piala Dunia edisi berikutnya.
Pelatih the Three Lions Gareth Southgate mengaku belum percaya tim asuhannya bisa menelan kekalahan. Menurut dia, Trippier dan kawan-kawan sudah bermain sesuai rencana yang disiapkan tim pelatih sebelum pertandingan. Bahkan, pada babak pertama, Southgate menilai kesempatan Inggris lolos ke final membesar setelah unggul satu gol.
"Saat ini kami terluka akibat kekalahan tersebut. Apakah kami ingin berada di posisi ini?" ujarnya seperti dilansir laman resmi FIFA, Kamis (11/7).
Kendati begitu, Southgate mengaku tetap bangga dengan pencapaian Inggris. Berangkat ke Piala Dunia dengan skuat yang dipandang sebelah mata tak membuat tim gentar. Para pemain justru menunjukkan perkembangan pesat dari laga ke laga sepanjang turnamen.
"Pertama dan yang terpenting, pengalaman bersama Inggris sangat positif. Negara sangat bangga dengan mereka dan cara mereka bermain. Masih banyak waktu untuk mengambil hal-hal positif," kata Southgate. n ed: muhammad iqbal