Senin 16 Jul 2018 18:37 WIB

Dirut PLN: Saya tak Ada di Rumah Waktu Penggeledahan

KPK tak melakukan hal melanggar hukum waktu penggeledahan.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Teguh Firmansyah
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) berada didalam mobil membawa barang-barang seusai menggeledah rumah Diretur Utama PLN Sofyan Basyir di Jalan Bendungan Jatiluhur, Jakarta, Ahad (15/7).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) berada didalam mobil membawa barang-barang seusai menggeledah rumah Diretur Utama PLN Sofyan Basyir di Jalan Bendungan Jatiluhur, Jakarta, Ahad (15/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sofyan Basir bercerita soal proses penggeledahan oleh KPK di rumahnya, Ahad kemarin. Sofyan mengatakan, saat tim KPK mendatangi rumahnya, dirinya tidak ada di rumah. "Saya pas penggeledahan memang sedang tidak di rumah. Dikabari, ya saya pulang. Kaget lah saya. Lumrah sih kalau saya kaget," cerita Sofyan di Kantor PLN, Senin (16/7).

Sofyan menjelaskan, pada saat momen penggeledahan tersebut, ia mendapatkan kabar dari orang rumah. Namun, kata Sofyan pihak penyidik KPK tidak melakukan hal yang melanggar hukum. "Kooperatif kok. KPK datang kemarin, beberapa orang masuk ke rumah, kami terima dengan baik. Kami berikan info terkait Riau 1 dan terkait dokumen. Penggeledahan dilakukan dengan baik, fair dan terbuka," ujar Sofyan.

Sofyan yang sampai hari ini masih berstatus sebagai saksi terkait operasi tangkap tangan Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih menjelaskan pihaknya berkomitmen tetap akan membantu KPK dalam proses hukum ini.

"Kami senang dengan kerja KPK yang profesional. Kami akan proaktif agar mencegah korupsi korupsi. PLN kooperatif untuk memberikan keterangan kepada KPK." ujar Sofyan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka terkait tindak pidana korupsi suap terkait kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Dua tersangka itu adalah anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS) dan pemegang sajam Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).

"Setelah melakukan pemeriksaan dan dilanjutkan gelar perkara dalam waktu 1x24 jam, disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji oleh penyelenggara negara secara bersama-sama terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (14/7).

 

KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan dua orang tersangka itu. "Diduga sebagai penerima EMS, anggota Komisi VII DPR RI. Diduga sebagai pemberi JBK pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited," ujar Basaria.

Baca Juga: Eni Saragih Ditangkap KPK Terkait Tugasnya di Komisi VII

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang sejumlah Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp 500 juta tersebut.

Diduga, kata Basaria, penerimaan uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

"Diduga, penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari pengusaha JBK kepada EMS dengan nilai total setidak-tidaknya Rp 4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp 2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp 2 miliar, 8 Juni 2018 sebesar Rp 300 juta," ujar Basaria pula.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement