Selasa 17 Jul 2018 00:20 WIB

Pengamat: Demokrat Harus Kerja Keras Bentuk Poros Ketiga

Pengamat menilai, nasib poros ketiga ditentukan oleh PKB dan Golkar.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Bayu Hermawan
Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago
Foto: Istimewa
Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai, tidak mudah bagi Partai Demokrat untuk memunculkan poros ketiga di pemilihan presiden (pilpres) 2019. Sebab, Demokrat harus mampu meyakinkan dan menarik minimal dua parpol untuk bergabung, untuk memenuhi aturan ambang batas pengajuan bakal calon presiden (presidential threshold).

Pangi menilai, peluang Gerindra untuk menggalang koalisi lebih ringan dibandingkan Demokrat. Sebab, Gerindra hanya tinggal mencari dan meyakinkan satu partai koalisi lagi untuk memenuhi ambang batas aturan presidential threshold sebesar 20 hingga 25 persen dalam UU Pemilu. Sementara Demokrat, harus mampu menangkap bola pantulan koalisi yang belum memutuskan bergabung ke koalisi Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto.

"Partai Demokrat harus terus berupaya melakukan konsolidasi, silaturahim dan penjajakan awal ke beberapa parpol koalisi lainnya," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (16/7).

Ada dua skenario yang memudahkan poros ketiga terbentuk. Yakni apabila nanti PKB dan PAN tidak bergabung ke kutub Jokowi maupun Prabowo. Skenario kedua, jika soliditas di dalam kubu Jokowi dan Prabowo tidak terjaga. Dari sejumlah partai di koalisi Jokowi, Pangi melihat Golkar memiliki potensial banting stir. Sebab, sebagian suara akar rumput dan elite masih gigih memperjuangkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartato sebagai cawapres.

Dalam upaya membentuk poros ketiga, SBY sudah memberi sinyal bahwa Agus Harimurti Yudhoyono sebagai kader potensial dari Demokrat bukanlah harga mati sebagai cawapres. "Sinyal ini diharapkan Demokrat mampu mengakomodir PAN dan PKB untuk masuk ke poros ketiga," kata Pangi.

Pangi menambahkan, saat ini, partai politik tengah menerapkan zona injury time. Taktik ini dimainkan untuk saling mengunci partai politik koalisi sehingga tidak ada ruang komunikasi serta lobi tingkat tinggi elite sentral partai. Di saat paket capres-cawapres nanti diumumkan pada detik terakhir penutupan pendaftaran, otomatis parpol yang tergabung dalam koalisi harus menerimanya.

Kondisi politik Indonesia saat ini seperti main sepak bola pada piala dunia kemarin, di mana timing sangat menentukan. Bermain pada injury time dengan menunggu bola umpan lambung di menit terakhir bsia mengubah peta konstelasi, begitupun pada pilpres. "Kita tunggu kejutan tersebut," ucap Pangi.

Baca juga: Demokrat Bisa Jokowi, Bisa Prabowo, dan tidak Keduanya

Sebelumnya, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, sikap Demokrat saat ini masih terbuka tiga opsi saat ditanyai kecenderungan dukungan Partai Demokrat antara dua koalisi Jokowi dengan Prabowo. "Posisi demokrat tetap tiga, bisa ke Jokowi bisa ke Prabowo, bisa tidak Jokowi tidak prabowo," kata Hinca.

Hinca juga menyebut partainya tetap menginginkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon wakil presiden (cawapres) meskipun itu bukan harga mati bagi Partai Demokrat.

"Mana ada harga mati, segala sesuatunya kan semua kader semua partai menjual kadernya realitas politik akan menjadi ujungnya kapan realisasi politik, paling lambat 10 Agustus," ungkap anggota Komisi III DPR itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement