REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mulai tahun 2018, peternak di Indonesia dilarang menggunakan Antibiotic Growth Promotor (AGP) dalam campuran pakan karena alasan kesehatan. Pelarangan ini disebut sebagai salah satu pemicu lonjakan harga telur di pasaran.
Ketua Asosiasi Peternak Petelur Indonesia Feri menjelaskan, sejak APG dilarang, peternak beralih menggunakan vitamin dan minyak esensial yang harganya lebih mahal.
“Kita cari substitusi yang tidak bahaya, sekitar Rp 50-100 per kilogram pakan,” ujarnya, pada wartawan, Senin (16/7) lalu.
Harga Telur Ayam di Kupang Capai Rp 60 Ribu
Feri melanjutkan, pada pasarnya peternak tak masalah dengan adanya larangan penggunaan antibiotik pada pakan ayam. Sebab, peternak juga ingin menghasilkan telur yang lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat. Namun, ada harga yang harus dibayar untuk itu. Sebagai konsekuensinya, harga telur di pasaran ikut meningkat.
Menurut Feri, sejak tak lagi menggunakan AGP, produksi telur menurun sekitar lima persen. Sebagian peternak menutupi penurunan prduksi itu dengan menambah populasi.
AGP sendiri merupakan antibiotik yang dipakai untuk meningkatkan daya tahan unggas sehingga tidak gampang sakit. Namun, penggunaan AGP pada unggas diduga meninggalkan residu yang dapat berdampak buruk pada manusia.
Karena itu, pemerintah telah menerbitkan peraturan menteri pertanian (Permentan) Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pasal 15-20 Permentan itu memuat larangan pemakaian obat sebagai antibiotik imbuhan pakan.