REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta para pengisi masjid mampu mengendalikan seorang khatib apabila ketika berceramah mengarah pada ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu. Langkah ini dilakukan agar masjid tersebut bebas dari ajaran radikalisme. Ketua Umum MUI, Kiai Ma’ruf Amin mengatakan tempat ibadah seperti masjid dapat digunakan masyarakat atau kelompok tertentu untuk berpolitisasi.
"Semua saja yang arahnya ke radikal harus dicegah. Kesejukan, kedamaian, persaudaraan harus diraih kembali supaya masalah politik tidak mendorong kita permusuhan. Masjid bisa digunakan politisasi, jadi pengisi di masjid yang harus dikendalikan," ujarnya di Gedung MUI, Selasa (17/7).
Ia khawatir, apabila ceramah seorang khatib mengandung ujaran kebencian akan berujung pada tindakan radikalisme. Untuk itu, sebaiknya model ceramah seorang khatib harus diperbaiki bersama, sehingga toleransi antar umat beragama di Indonesia tetap terjaga.
“Mungkin ada yang radikal ucapannya. Khotib yang radikal contohnya yang provokatif, menghujat mempersoalkan masalah lalu, itu radikalisme ucapan dan bisa mengarah ke radikalisme tindakan. Itu yang harus dicegah,” ucapnya.
Sebelumnya, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melakukan telah melakukan survei terhadap 100 masjid pemerintahan di Jakarta. Seratus masjid tersebut terdiri atas 35 masjid di kementerian, 28 masjid di lembaga negara, dan 37 masjid di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketua Dewan Pengawas P3M, Agus Muhammad mengatakan, survei itu dilakukan setiap shalat Jumat dari 29 September hingga 21 Oktober 2017.
Kemudian, tim survei menganalisis materi khutbah Jumat yang disampaikan. Hasilnya, ada 41 masjid yang terindikasi radikal. Menurut dia, dari 41 masjid yang terindikasi radikal itu dibagi menjadi tiga kategori yaitu tinggi, rendah dan sedang.
"Dari 100 masjid itu 41 kategorinya radikal. Radikal rendah itu tujuh masjid, radikal sedang 17 masjid, dan radikal tinggi itu 17 masjid," ujar Agus saat dihubungi Republika.co.id, Senin (9/7).