REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai sebetulnya penurunan tingkat kemiskinan saat ini semu. Sebab turunya tingkat kemiskinan tersebut lebih karena kebijakan yang instan, kebijakan yang altruistik, yaitu lebih karena besarnya bantuan sosial, bukan karena produktifitas rakyat.
"Semunya penurunan angka kemiskinan bisa dicermati juga dari adanya ironi ekonomi. Misalnya terkait inflasi bahan pangan," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (18/7).
Misalnya, papar Ubedilah, angka inflasi untuk beras mencapai 8,57 persen, telur ayam ras 2,81 persen, daging ayam 4,87 persen, cabai rawit 49,91 persen, dan cabai merah 53,87 persen.
Selain itu, Ubedilah melanjutkan, dari perspektif wilayah, penurunan tingkat kemiskinan juga ternyata belum merata. Misalnya merujuk pada data BPS terbaru ditemukan kemiskinan terbanyak di Pulau Jawa mencapai 13,94 juta, Sumatera 5,98 juta, Sulawesi 2,06 juta, Bali dan Nusa Tenggara 2,05 juta, Maluku-Papua 1,53 juta.
"Jadi ada dua hal mengapa disebut angka tingkat kemiskinan saat ini semu, yaitu cara menurunkan angka kemiskinan dengan memperbanyak bantuan sosial dan fakta angka inflasi kebutuhan pokok yang masih tinggi," kata dia.
Baca juga, Tingkat Kemiskinan di Indonesia Turun ke Level Satu Digit.
Ubedilah mengatakan, kesemuan angka kemiskinan karena kebijakan memperbanyak bantuan tersebut lebih bisa dipahami sebagai konteks konstruksi citra elite yang dilakukan rezim berkuasa. Menurut dia, ini ada korelasinya dengan jelang kontestasi politik 2019 mendatang. "Dalam perspektif politik ini disebut imaging policy, yaitu kebijakan rezim berkuasa untuk membentuk citra," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, lancarnya distribusi bantuan sosial pada kuartal I 2018 menjadi salah satu kunci turunnya kemiskinan yang untuk pertama kalinya menyentuh angka di bawah 10 persen.
Bambang menuturkan, pemerintah belajar dari kuartal pertama tahun lalu. Jumlah penduduk miskin secara absolut sempat naik pada Maret 2017 kendati persentase kemiskinannya turun. Saat itu, pemerintah mengidentifikasi keterlambatan penyaluran bantuan sosial sebagai penyebabnya.
Bantuan sosial, kata Bambang, dibatasi pada Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Sejahtera (Rastra), dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan juga Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Tingkat kemiskinan di era pemerintahan Jokowi-JK
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2018, jumlah penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia mencapai 25,95 juta orang atau 9,82 persen, berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang atau 10,12 persen.
Jika dibandingkan dengan Maret tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 1,82 juta orang. Selama periode September 2017 sampai Maret 2018, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 128,2 ribu orang. Angkanya turun dari 10,27 juta orang pada September 2017 menjadi 10,14 juta orang pada Maret 2018.
Sementara di daerah perdesaan turun sebanyak 505 ribu orang, dari 16,31 juta orang pada September 2017 menjadi 15,81 juta orang pada Maret 2018.