Rabu 18 Jul 2018 16:23 WIB

KPK akan Periksa Mensos dan Dirut PLN Pekan Ini

Mensos dan Dirut PLN akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap proyek PLTU Riau.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
 Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan Menteri Sosial Idrus Marham dan Direktur Utama (Dirut) PT PLN Sofyan Basir pada pekan ini. Keduanya akan diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan dugaan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

"Setelah melakukan penggeledahan pada delapan lokasi sejak Ahad dan Senin, 15-16 Juli 2018, KPK merencanakan pemeriksaan saksi Idrus Marham pada Kamis (19/7) dan Sofyan Basir pada Jumat (20/7)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu.

Rumah Idrus Marham menjadi lokasi operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Jumat (13/7), sedangkan pada Ahad (15/7) petugas KPK menggeledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir. "KPK telah menyampaikan surat panggilan secara patut. Kami percaya para saksi akan memenuhi panggilan KPK. Para saksi ini dibutuhkan keterangannya tentang apa yang ia ketahui terkait perkara yang sedang kami proses ini," ujar Febri lagi.

KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam OTT pada Jumat (13/7), KPK sudah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang Rp500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp 500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Sebelumnya, Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp 4,8 miliar, yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp 2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp 2 miliar, dan 8 Juni 2018 sebesar Rp 300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Pada Senin (16/7), KPK menggeledah kantor Pembangkit Jawa Bali (PJB) I di Gedung Indonesia Power yang merupakan anak perusahaan dari PT PLN, ruang kerja tersangka Eni Maulani Saragih di gedung DPR RI, dan kantor pusat PLN.

KPK mendapatkan dokumen perjanjian dan skema proyek serta dokumen lain terkait proyek PLTU Riau-1, dokumen rapat, CCTV, dan alat komunikasi dari penggeledahan tersebut.

Baca juga: KPK: Banyak Dokumen Terkait Riau-1 yang Ditemukan

"Cukup banyak dokumen terkait Riau-1 yang kami temukan. Termasuk dokumen yang menjelaskan skema kerja sama pada kasus ini. Ada juga barang bukti elektronik, di antaranya CCTV dan alat komunikasi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka, masing-masing Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).

Adapun penggeledahan di kantor PLN Pusat dan PJB Indonesia masih berlangsung sampai saat ini. Sedangkan, ruang kerja Eni telah selesai digeledah. "Penggeledahan masih berjalan di sebagian tempat sampai dengan dini hari ini. Sekali lagi, kami ingatkan semua pihak kooperatif," ucap Febri.

Sebelumnya, KPK pada Ahad (15/7) juga menggeledah lima lokasi dalam penyidikan kasus tersebut, antara lain, rumah tersangka Eni, rumah tersangka Johannes, kantor tersangka Johannes, apartemen Johannes, dan rumah Dirut PLN Sofyan Basir. Dalam penggeledahan itu turut diamankan dokumen terkait dengan proyek pembangkit listrik Riau-1, dokumen keuangan, dan barang bukti elektronik.

Dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp 500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dari commitment fee 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

"Diduga, penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari pengusaha JBK kepada EMS dengan nilai total setidak-tidaknya Rp 4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp 2 miliar, Maret 2018 Rp 2 miliar, 8 Juni 2018 Rp 300 juta," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (14/7) malam.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga. "Diduga peran EMS adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerjasama terkait pembangunan PLTU Riau-1," kata Basaria.

Sebagai pihak yang diduga pemberi, Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement