Kamis 19 Jul 2018 17:24 WIB

Wawancara TGB Muhammad Zainul Majdi: Jaga Keadaban Publik

Kalau beda pilihan, ya sudah, kita hormati saja

Tokoh Nasional yang juga Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) menyampikan paparannya saat berkunjung ke Kantor Republika, Jakarta, Selasa (17/7).
Foto: Republika/Prayogi
Tokoh Nasional yang juga Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) menyampikan paparannya saat berkunjung ke Kantor Republika, Jakarta, Selasa (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau lebih akrab Tuan Guru Bajang (TGB) menilai bukan soal siapa yang memimpin Indonesia yang membuat iklim politik sedemikian garang. Menurut dia, ada masalah yang lebih besar pada keadaban publik di masyarakat saat ini.

Hal inilah yang seharusnya dipikirkan lagi. Harus ada diskusi dengan kepala dingin untuk meredam panasnya suasana.

TGB mengatakan, yang harus dilakukan setiap masyarakat Indonesia adalah soal klarifikasi atau tabayun. Dengan begitu, tidak ada sikap saling curiga yang berpotensi memecah belah rakyat Indonesia.

Membuat masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu. Mereka yang menjadi pemuja pemerintah atau pembenci pemerintah. Berikut ini bagian kedua perbincangan Republika dengan TGB.

Apakah tidak ada diskusi antara kalangan terkait soal ini?

Mungkin itu intropeksi untuk kita semua, bahwa kalau sudah pada sam pai titik itu kita sering kali kemudian jargon-jargon itu tidak berlaku. Jadi, yang berlaku adalah posisi-posisi subjektif dari masing-masing.

Nah, ya, ke depan mudah-mudahan tidak hanya dalam hal kepemimpinan nasional, tapi dalam hal-hal lain itu harus diupayakan sinergi umat. Banyak yang merespons kepada saya terkait sikap saya. Juga banyak yang terbuka, yang menyanggah ada, dan macam-macam. Bahkan, ada yang setuju dengan saya, tapi tidak bisa sampai menyampaikan kepada publik.

Kalau bicara tentang risiko, bukankah lebih nyaman kalau saya dalam posisi sebelum menyuarakan itu, tapi dari sisi itu pribadi. Kan kita tahu segala macam, dan saya juga tahu persis kalau saya menyampaikan ini ada risiko, tapi harus ada yang ber suara. Kalau semua enggak bersuara kan enggak baik.

Termasuk dalam hal isu-isu yang dilekatkan kepada Bapak Jokowi. Contoh, di Solo itu saya tanya apakah Jokowi anak PKI, jawabnya enggak. Siapa bilang? Ibunya anggota pengajian kita, bahkan keluarga Pak Jokowi itu secara umum ada akar Masyumi nya di Solo. Keluarga dari lingkungan yang ada Masyuminya. Mungkin bukan Masyumi lekat, tapi ada latarnya.

Enggak benar sama sekali. Lalu, saya tanya, kenapa enggak disuarakan?

Jawabannya enggak jelas. Maksud saya kan kalau ada seorang Muslim ada yang dituduh dengan tuduhan yang sangat serius dan kita tahu tidak benar kan bisa kita suarakan.

Apa yang Anda harapkan dari seluruh kejadian ini?

Saya berharap kita lebih objektif, jangan karena ketidaksukaan terhadap seseorang membuat kita kemudian membolehkan untuk mem-bully segala macam. Memang ada masalah-masalah yang disampaikan tadi seperti ada yang disebut kriminalisasi ulama, isu tenaga kerja asing, isu PKI itu tiga hal yang memang selalu berulang-ulang. Menurut saya, ketiga hal itu terjadi kan bisa ditabayun kan atau bisa dicek faktanya seperti apa.

Kalau berkaitan dengan beliau, ada wadah bisa menanyakan kepada beliau. Kan itu mekanisme yang sudah baku dalam Islam, kepada saudara Muslim, ya, kita klasifikasi dan tabayun. Yang tidak baik adalah kita memproduksi hoaks yang segitu banyaknya yang itu menurut saya merusak hubungan sosial kita.

Ya, saya pikir itu kita perbaiki sama-sama dan introspeksi kita semua dan saya juga, kadang-kadang kita mengaku kita membawa aspirasi yang baik dan mulia, tetapi yang kita gunakan sebagai alat dan wasilahnya itu luar biasanya, menurut saya.

Seperti kasus saya pribadi, misalnya. Hari ini saya seorang hafiz, begitu saya ber-statement, berubah semua. Ada yang meragukan hafalan Alquran saya, menyebut saya munafik, dan mengutip jangan tertipu orang yang hafal Alquran karena ada orang Yahudi juga hafal Alquran. Kita rusak kalau begini, dan sayangnya, mohon maaf, ada satu-dua tokoh kita yang ketika ditanya mengatakan wajar jika umat marah.

Nah, ini lampu hijau untuk saling mem-bully. Ya hari ini orang lain di-bully, tapi hati-hati besok-besok bisa Anda dan itu akan menimpa kita semua dan ini tidak sehat.

Apa yang harus dilakukan ulama atau pemimpin umat?

Menurut saya, justru tokoh umat itu seperti Aa Gym ketika di Istiqlal sampaikan: kalau beda pilihan, ya sudah, kita hormati saja. Apalagi kalau kita Ahlussunnah wal Jamaah, masalah kepemimpinan itu kan bukan akidah, ini bagian daripada fikih. Ini fikih siyasah.

Kecuali kita orang Syiah, kalau imamah itu termasuk akidah, kan kalau kita tidak. Artinya, ini ruang-ruang, apalagi seorang Muslim berarti subjektivitas kita melihat dan menilai situasi segala macam. Jadi, jangan ada pemutlakan jangan ada penistaan, penghujatan, kita bersaudara.

Yang agak mengkhawatirkan ini adalah kok saya lihat di profil orang yang mem-bully itu anak-anak muda kita. Kalau perempuan berjilbab rapi dan yang laki-laki dengan penampilan yang lengkap dengan identitas kita, tetapi kata-kata yang ditulis itu, masya Allah. Apa yang salah, ya? Ini kan berarti ada sesuatu bagaimana kita menghadirkan keadaban publik berbeda sekali dengan apa yang kita tampakkan secara lahiriah.

Menurut Anda, apakah kondisi saat ini dapat berakhir kalau kekuasaan berada di tangan pihak yang lain?

Menurut saya, pendekatannya bukan kepada menggilirkan siapa yang memimpin, tetapi bagaimana membangun di tengah-tengah kita ini, membangun suasana kebatinan. Bahwa ini kita lagi siklus demokrasi biasa lima tahun, dan kalau menurut kita bagus yang kita pilih. Setelah itu, kita berkarya masing-masing di wilayah kita. Kan tidak bisa siapa pun juga yang hadir terus tiba-tiba dia menyulap Indonesia.

Artinya, proses menuju pemimpin yang baik itu kan sangat penting, tapi karya-karya kita masing-masing juga tidak kalah penting. Jadi, suasana kebatinan itu harus terbangun sehingga siapa pun yang menang, ya, tidak akan jadi masalah. Tapi, kalau suasana kebatinannya tidak ada, mau dipergilirkan seperti apa akan tetap seperti itu.

Menurut saya, suara-suara tokoh umat itu sangat perlu. Ayo kita hentikan ini semua bahwa kita bersaudara, perjumpaan-perjumpaan juga sangat penting. Itu sebabnya dulu ketika ada bocor foto Presiden (Joko Widodo) bertemu dengan beberapa tokoh, itu sangat saya syukuri. Bukan apa-apa, kalau tak bertemu, itu umat pasti akan lebih adem.

Tapi, kemudian setelah itu kontroversi akhirnya semangat bersilaturahim hilang, istilah takut dipolitisasi segala macam. Menurut saya sih, ya, kita harus belajar pada maqam tidak memikirkan jangka pendek, tapi memikirkan jangka panjang untuk bangsa. Jadi, perjumpaan itu sangat perlu dan yang paling ekstrem itu, ya, bertemu bersama, makan bersama, diskusi tentang isu-isu bangsa, maka semakin banyak itu semakin mengademkan di bawah itu penting.

photo
Tokoh Nasional yang juga Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) saat berkunjung ke Kantor Republika, Jakarta, Selasa (17/7).

Setelah pernyataan Anda, apakah ada pertemuan dengan tokoh umat membahas itu?

Belum ada. Yang datang baru ada dua atau tiga tokoh diskusi dengan saya. Tukar pikiran dengan saya, tapi semua pada akhirnya menghormati dan mendoakan semoga apa pun keputusan membawa kebaikan untuk semua.

Apa rencana Anda setelah melepas jabatan gubernur NTB?

Kalau saya itu kan saya lahir dari keluarga yang memang suka berkhidmat. Sedikit-sedikit saya ingin meneladani itu. Jadi, tidak pernah menjadi masalah besar bagi saya mau mengabdi di mana pun, di dalam atau di luar pemerintahan. Insya Allah, dengan penuh kelapangan dan kesukacitaan, saya akan tempuh.

Saya juga punya anak banyak. Saya tidak mau anak saya mencatat bapak saya ini ternyata transaksional: begitu tidak punya jabatan, mutung. Saya enggak mau. Saya ingin anak saya dan generasi seterusnya bisa belajar hal kecil tapi yang baik dari kita. Jadi, saya ingin mewariskan sesuatu yang baik. Jadi, insya Allah, saya sudah berkhidmat di mana pun tidak ada masalah.

Apakah Anda mengajukan syarat untuk bergabung di 2019?

Intinya, tidak pernah sampai saat ini pembicaraan detail tentang ada yang bicara soal capres, belum pernah bicara tentang partai-partai juga. Ya, saya juga harus tahu diri dan harus proporsional. Kepentingan saya paling utama adalah tadi itu, menyehatkan ruang publik kita. Itu adalah kewajiban kita semua. ¦ ed: agus raharjo

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement