REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kuliner tradisional, sering diburu bukan hanya karena citarasanya yang mengingatkan pada kekayaan masakan khas dari nusantara. Tetapi juga sekaligus membangkitkan nostalgia, bahkan bisa menjadi ajang pembumian spirit kerakyatan. Itulah yang dirasakan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, ketika pulang ke kampung halamannya, di Sleman, Yogyakarta.
Ada salah satu tempat kuliner Hasto, yang selalu dikunjungi setiap kali pulang ke Sleman, yakni di Kuliner Terminal Condong Catur. Kuliner yang berada di dalam kawasan sub terminal Condong Catur banyak aneka makanan khas tradisional. Diantara yang menjadi langganan Hasto adalah Bakmi Jawa Miroso milik Bu Karno dan Oseng Mercon yang dikelola Bu Kiki.
Seperti ketika pada Kamis malam (19/7), Hasto yang hendak pulang untuk menengok ibunya di Sleman terlebih dahulu mampir di warung yang menjadi langganannya sejak masa kuliah itu. Letaknya di Jalan Anggajaya, Gejayan, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
“Bakmi Jawa ini sudah saya gemari sejak mahasiswa, waktu itu harganya satu porsi Rp350, dan sekarang di samping Bakmi juga ada Oseng Mercon, osengan tempe dan kerang yang superpedas,” kata Hasto, disela menyantap Bakmi Jawa Miroso, masakan Bu Karno dalam siaran persnya.
Hasto yang didampingi Rahmat Sahid, caleg PDI Perjuangan untuk daerah pemilihan Jawa Tengah VII (Kabupaten Kebumen, Purbalingga, Banjarnegara) mengungkapkan, setiap kali menyantap kuliner tradisional selalu ingat pada upaya Bung Karno yang pada tahun 1960-an mengumpulkan berbagai resep masakan nusantara. Resep masakan itu kemudian menjadi warisan Bung Karno dalam bentuk buku Mustika Rasa, yang diterbitkan pada tahun 1967.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bersama bacaleg PDIP Rahmat Sahid
“Saya juga selalu ingat pesan dari Ibu Megawati agar dalam masalah makanan pun, perut kita tidak boleh dijajah oleh makanan impor. Karena kita itu punya begitu banyak resep masakan seperti yang tertuang dalam Buku Mustika Rasa, yang dari citarasa dan kekayaan bumbunya begitu luar biasa sehingga bercitarasa sempurna,” ungkap Hasto.
Sementara itu, Bu Karno, yang sudah berjualan Bakmi Jawa sejak tahun 1986 mengungkapkan, Hasto memang salah satu pelanggan setianya sejak masa kuliah.
“Sampun awit riyen mas, nek tindak Yogyakarta Pak Hasto mesti mampir mriki dahar bakmi (sudah sejak dulu mas, kalau ke Yokyakarta Pak Hasto pasti mampir sini makan bakmi),” ungkap Bu Karno.
Karena seringnya Hasto mampir di warung Bakmi Jawa Miroso, Bu Karno akan menanyakan kepda pelanggan yang mengenal Hasto jika dalam waktu lama tidak menyantap bakmi masakannya.
Ketika mampir ke warung bakmi Bu Karno, Hasto juga selalu pesan setidaknya 5 bungkus bakmi goreng dan bakmi rebus, untuk dibawanya pulang. Di area tempat kuliner itu, Hasto memang cukup dikenal karena sering mampir makan ketika pulang ke Sleman. Karenanya, ketika hasto datang, pedagang kuliner di tempat itu begitu antusias.
Dan bagi Hasto, rasanya juga tidak hanya kebetulan kenapa ia sering mampir ke warung Bakmi Jawa Miroso. Nama Bu Karno, sang penjual bakmi, menjadi salah satu yang mengingatkan pada nama Bung Karno, yang semasa hidup dan kepemimpinannya tidak hanya meninggalkan warisan monumen, patung-patung megah, hingga lukisan untuk bangsa Indonesia, tetapi juga warisan buku resep masakan nusantara yang berjudul Mustika Rasa.
“Indonesia yang begitu kaya, dengan aneka makanan yang luar biasa dan tidak ada satu pun negara memiliki keanekaragaman dan kesempuranaan bumbu makanan selengkap Indonesia. Kami memimpikan muncul para ahli peneliti boga dan ahli gizi untuk menggelorakan nasionalisme dari makanan Indonesia”