Jumat 20 Jul 2018 18:28 WIB

Tanpa Ambang Batas, Parpol Leluasa Ajukan Capres

Masyarakat pun akan mendapatkan banyak pilihan calon pemimpinnya.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Perludem sekaligus Duta Demokrasi Internasional Titi Anggraini memberikan paparannya saat wawancara di Kediamnya Kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Ahad (1/4).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Perludem sekaligus Duta Demokrasi Internasional Titi Anggraini memberikan paparannya saat wawancara di Kediamnya Kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Ahad (1/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Titi Anggraini, salah satu penggugat uji materi tentang ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold) mengatakan, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut maka parpol akan lebih leluasa mencalonkan kader terbaiknya menjadi capres dan cawapres. Masyarakat pun akan mendapatkan banyak pilihan calon pemimpinnya.

"Kalau permohonan uji materi ambang batas pencalonan presiden bisa dikabulkan MK sebelum masa pendaftaran capres-cawapres, ini akan membuka ruang bagi parpol atau gabungan parpol untuk bisa lebih leluasa mencalonkan kader-kader terbaiknya sebagai pasangan capres-cawapres," ujar Titi kepada Republika.co.id, Jumat (20/7).

Selanjutnya, kata dia, masyarakat juga bisa punya beragam pilihan dalam Pemilu mendatang. Dengan begitu, kompetisi pemilu untuk memilih capres-cawapres akan semakin dinamis dan kompetitif. "Tentunya, ada tawaran yang lebih substansial mengarah pada variasi gagasan dan program para calon nantinya," tegasnya.

Pada 18 Juli lalu, penggugat uji materi ambang batas pencalonan presiden dalam pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, menyampaikan argumentasi baru yang diyakini bisa menguatkan argumentasi mereka. Titi menjelaskan, salah satu argumentasi baru yang disampaikan pihaknya berdasarkan kepada pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Dalam pasal 6 ayat 3 itu menyebutkan, pasangan capres-cawapres terpilih harus mendapatkan paling sedikit 50 persen plus 1 suara sah yang tersebar paling sedikit pada 50 persen provinsi dengan sebaran sekurang-kurangnya 20 persen di setiap provinsi itu.

"Sistem itulah yang disebut sebagai sistem pemilu dua putaran. Sistem tersebut dimaksudkan untuk mewadahi keragaman pilihan capres-cawapres. Merujuk kepada dasar ini, maka tidak mungkin jika kita memberlakukan ambang batas pencapresan dengan perhitungan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah DPR pada pemilu sebelumnya," ujar Titi.

Baca juga: Soal Gugatan PT, Ilham: Apapun Putusan MK KPU Siap

Karena itu, kata dia, pihaknya berargumen jika keberadaan pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan maksud UUD 1945 yang menginginkan keberagaman pilihan (capres-cawapres). Sebab, pada pokoknya, dua ayat pada pasal 6 UUD 1945 menekankan bahwa pembentuk aturan itu sudah memahami keragaman politik Indonesia. Sehingga, lanjut Titi, sistem pemilu untuk memilih capres dan cawapres di Indonesia, sebagaimana yang selama ini dianut dalam konstitusi, adalah pemilu dua putaran atau two run system. Di banyak negara lain di dunia, sistem semacam ini juga bertujuan mewadahi keberagaman capres dan cawapres.

"Yang dikehendaki oleh pembuat UUD 1945 itu bukanlah sebuah Pemilu dengan pilihan yang terbatas atau pilihan yang sedikit. Oleh karena itu, mereka menciptakan sistem pemilu presiden dua putaran sehingga pilihan dan keragaman politik Indonesia bisa diwadahi secara alamiah melalui sistem tersebut.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan latar belakang dipilihnya pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) sebagai dasar tambahan argumen dan batu uji terhadap pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Karena setelah kami periksa dalam banyak permohonan sebelumnya, MK belum pernah memutus uji ambang batas pencalonan presiden menggunakan pasal tersebut. Sehingga kami optimis dan meyakini kalau majelis hakim MK betul-betul memaknai maksud pembuat UU, akan mempertimbangkan argumentasi kami," tegasnya.

Lebih lanjut, Titi juga optimistis MK akan memprioritaskan gugatan uji materi kali ini. Sebab, tahapan pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2019 sudah semakin dekat. Karena itu, pihaknya meminta agar MK mempercepat proses uji materi dan segera mengeluarkan putusannya. Sebab, sebelumnya, MK pernah memutuskan perkara pengujian undang-undang dalam durasi yang pendek.

Titi mencontohkan, pada 2004 lalu MK pernah memutuskan perkara uji materi syarat pencalonan presiden yang diajukan pada 19 April oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kemudian, MK memutus perkara tersebut pada 23 April 2004.

"Jadi, MK punya kredibilitas dan kompoetensi untuk memeriksa dengan cepat dan memprioritaskan perkara ini. Dalam pandangan kami, kalau MK bisa memutus ini sebagai perkara prioritas dengan cepat maka akan menumbuhkan keyakinan kepada kepastian hukum terhadaap penyelenggaraan pemilu yang sejalan dengan konstitusi," tegasnya.

Baca juga: Demokrat Minta MK Segera Putuskan Gugatan PT

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement