REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memberi peringatan kepada Umar Ritonga, orang kepercayaan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap agar segera menyerahkan diri ke KPK. Umar merupakan tersangka kasus dugaan suap sejumlah proyek tahun anggaran 2018 di Labuhanbatu yang kabur dengan barang bukti uang sebesar Rp 500 juta saat akan diamankan oleh penyidik KPK.
KPK berharap pihak keluarga dan kolega tersangka Umar Ritonga aktif mengajak Umar untuk datang ke KPK atau menyerahkan diri ke Polres Labuhanbatu atau kantor kepolisian setempat. Imbauan lembaga antirasuah ini berlaku hingga Sabtu (21/7) besok. Jika tetap tidak menyerahkan diri, maka akan diterbitkan DPO.
"Kami berikan peringatan ke tersangka UMR untuk segera serahkan diri dan pihak keluarga dan orang dekat agar sampaikan info ke KPk serta memgingatkan tersanhka untuk serahkan diri atau ke polisi setempat," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jumat (20/7).
Selain Umar, KPK juga masih mencari Afrizal Tanjung selaku Direktur PT Peduli Bangsa (PB). Dalam kasus ini, Afrizal berperan sebagai pihak yang mencairkan cek di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumut. "KPK juga sedang melakukan pencarian terhadap saksi Afrizal Tanjung," ucapnya.
Afrizal merupakan orang kepercayaan Effendy Syahputra selaku pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi (BKA). Afrizal yang mencairkan cek Rp 576 juta dari Effendy di BPD Sumut yang kemudian menitipkannya kepada petugas bank. Dari pencairan Rp 576 juta, Afrizal mentransfer Rp 16 juta ke rekening dirinya dan Rp 61 juta ditransfer ke rekening Effendy. Kemudian sisanya sekitar Rp 500 juta dititipkan kepada petugas bank.
Uang sekitar Rp 500 juta itu kemudian diambil Umar Ritonga. Saat hendak ditangkap tim penindakan KPK, Umar kabur dan hampir menabrak petugas KPK. KPK resmi menetapkan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harhap, Umar Ritonga selaku pihak swasta dan Effendy Syahputra selaku pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi (BKA).
Pangonal dan Umar diduga menerima Rp 500 juta dari Effendy terkait dengan proyek yang didapat PT Binivian. Diduga uang tersebut berasal dari dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat, Kabupaten Labuhanbatu.
Atas perbuatannya, Pangonal dan Umar dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Effendy dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.