REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Komoditas kopi diyakini bisa menjadi produk unggulan dari skema perhutanan sosial yang sedang digalakkan pemerintah pusat melalui Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Apalagi, produk kopi jenis Arabika dari Sumbar semakin diminati di pasar dunia. Sayangnya, luasan perkebunan kopi di Sumbar baru sekitar 1.000 hektare.
Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Hargyono, menyebutkan bahwa kopi sebetulnya bisa ditanam melalui skema perhutanan sosial. Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan secara lestari yang dilakukan dalam kawasan hutan negara atau hutan adat, yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan.
"Nah, kopi ini bisa jadi salah satu potensi yang belum banyak dimanfaatkan. Perhutanan sosial di Sumbar sendiri saat ini lebih banyak untuk rotan dan manau," jelas Hargyono, Jumat (20/7).
Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat sekitar 2,4 juta hektare kawasan hutan di Sumbar. Dari angka tersebut, baru 200 ribu-an hektare hutan yang sudah diterbitkan izin atas perhutanan sosial. Artinya masih ada jutaan hektare lahan hutan yang bisa ditanami kopi, tentu mempertimbangkan karakteristik hutannya sendiri.
"Yang jelas kopi ini kan tumbuhnya akan lebih baik ketika ada tanaman pelindung. Nah, hutan bisa menjadi lokasi ideal dengan memanfaatkan kopi sebagai tanaman sela," jelas Hargyono.
Kopi asal Sumbar sendiri mulai dikenal pasar dunia setelah beberapa kali diikutkan di ajang pameran kopi internasional. Kopi jenis Sumatra Arabica Solok Minang misalnya, pernah tampil dalam Pameran Kopi Speciality di Seattle, AS tahun 2017 lalu. Dari berbagai pameran inilah, lanjut Pebri, penikmat kopi di seantero dunia mulai meminati kopi asal Sumbar.